LenteraJateng, SEMARANG – Tradisi Gebyuran di Kampung Bustaman meriah pada Minggu, (27/3/2022). Anak-anak, remaja, hingga orang tua di kampung ini saling melempar air hingga basah kuyup.
Sesepuh kampung Hari Bustaman mengatakan, dahulu Bustaman hanyalah kampung kumuh, padat penduduk dan tersisihkan dari Kota Semarang. Kemudian mengangkat tradisi Gebyuran sebagai cara untuk menambah ikon wisata kota.
“Kami menggali tradisi yang konon kabarnya waktu dulu orangtua kami masih ada, menggelar padusan menjelang bulan Ramadan. Padusan itu dengan mengguyur para cucu di depan sumur tua yang sudah ada sejak kampung ini ada pada tahun 1743,” kata Hari.
Pada 10 tahun yang lalu, menyelenggarakannya dengan sangat sederhana tradisi Gebyuran ini. Berawal hanya dari antar tetangga, kini seluruh warga kampung dari anak-anak hingga dewasa ikut saling melempar air.
“Dulu cuma pakai ciduk atau gayung saja. Lama-lama berkembang dengan mengisi kantong plastik dengan air dan menggunakan pewarna,” papar dia.
Makna dari air itu, lanjut Hari, adalah mensucikan diri menjelang bulan puasa. Manusia-manusia yang sebelumnya kotor, kemudian dibersihkan dengan air.
Acara gebyuran diawali dengan arak-arakan dengan menggunakan kostum barongan yang artinya segala sifat keburukan dari manusia. Kemudian disusul rebana dari ibu-ibu setempat.
Setelah prosesi arak-arakan selesai, secara simbolis beberapa anak disucikan oleh orangtua. Kemudian, dengan ditabuhnya bedug musala Kampung Bustaman, momen saling melempar air berwarna-warni mulai.
Tak ada rasa dendam, warga sangat bersenang-senang selama Gebyuran berlangsung. Seluruh penjuru kampung dipenuhi suara gelak tawa anak-anak hingga para orang tua.
Warga Kampung Antusias Setelah Dua Tahun Tertunda
Widyastuti (26), mengaku senang dengan terselenggaranya kembali tradisi ini. Selama dua tahun, kegiatan Gebyuran di Kampung Bustaman terhenti dan hanya dilakukan secara sederhana.
“Seneng banget karena disini ramai, warga antusias dengan acara Gebyuran tahun ini karena bisa dilakukan langsung. Tahun kemarin lewat daring saja,” jelas Widya.
Endang (51) menyebut tradisi ini sudah ada sejak dulu. Beberapa hari sebelumnya, telah dilakukan juga ziarah ke makam Kiai Bustaman.
“Acara ini maknanya untuk membersihkan dan mensucikan diri dari dosa menjelang bulan puasa,” pungkas Endang.
Editor: Puthut Ami Luhu