LenteraJateng, JAKARTA – Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) sebentar lagi pembahasannya di DPR rampung dan segera pengesahannya menjadi UU. Pengesahan yang sudah dinanti sejak lama ini, bisa menjadi kado manis bagi para perempuan menjelang peringatan Hari Kartini.
Pembahasan RUU ini di DPR, kali pertama pada Mei 2016 lalu. Atau saat Puan Maharani menjabat sebagai Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Saat itu namanya adalah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).
Hampir genap berusia enam tahun, pengesahan RUU TPKS yang awalnya RUU PKS dapat terwujud saat Puan menjabat sebagai Ketua DPR. Pengesahan RUU ini menimbulkan keyakinan dari banyak pihak, bisa menjawab keresahan para perempuan terkait kekerasan seksual.
Aktivis Perempuan Dorong RUU TPKS
Aktivis perempuan yang juga pegiat literasi, Nury Sybli, mendorong pengesahan RUU ini segera pada bulan ini, sebelum masa reses.
“Saya mengikuti diskursus mengenai pembahasan RUU TPKS sudah lama. Posisi Mbak Puan sekarang sebagai Ketua DPR, sudah seharusnya segera mengesahkan. Karena beliau memang sudah konsen terkait hal ini sejak masih menjadi Menko PMK,” kata Nury, Selasa (5/4/2022).
Nury mengapresiasi langkah Puan yang mengajak para aktivis perempuan. Mulai dari Komnas Perempuan, hingga Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban memberi masukan untuk isi RUU TPKS.
Ia yakin setelah pengesahan RUU TPKS, bisa memberi jawaban bagi permasalahan kekerasan seksual yang selama ini kerap para perempuan alami.
“Sekarang inilah nomentum bagi Mbak Puan untuk segera mengetok palu sidang di Paripurna untuk pengesahan RUU TPKS. Sekaligus menjadi kado spesial menjelang peringatan Hari Kartini tanggal 21 April nanti,” kata Nury.
Nury melanjutkan, segera sahnya RUU TPKS karena merupakan kunci negara memberikan perlindungan bagi perempuan dan kelompok rentan lainnya.
Sebelumnya, DPR mengesahkan RUU TPKS sebagai inisiatif mereka dalam rapat paripurna pada 18 Januari lalu. Dari sembilan fraksi yang ada di DPR, hanya PKS yang menyatakan penolakan.
Saat ini DPR dan pihak pemerintah terus mengebut pembahasan RUU TPKS agar dapat rampung sebelum anggota dewan memasuki masa reses pada 15 April.
RUU ini pada intinya mempermudah korban kekerasan seksual untuk mendapatkan keadilan di mata hukum. Jika RUU TPKS ini sudah sah, maka kepolisian tak bisa lagi menolak laporan korban kekerasan seksual.
Penyelesaian perkara tindak kekerasan seksual juga tak boleh lagi melalui mekanisme restorative justice, yang menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku dan korban.
Rangkul Semua Kepentingan, RUU TPKS Jadi Prioritas
Puan sebelumnya memang sempat menerima aspirasi dari sejumlah aktivis perempuan mengenai RUU TPKS pada 12 Januari lalu. Ada belasan aktivis perempuan yang datang ke DPR dari berbagai latar belakang mulai dari akademisi, influencer, pejuang HAM, pekerja seni, hingga mahasiswa.
Mereka berasal dari berbagai lembaga ,Komnas Perempuan, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Koalisi Perempuan Indonesia, Maju Perempuan Indonesia (MPI), Badan Riset Nasional (BRIN), Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), hingga perwakilan dari UNDIP.
“Masukan yang ada. memberikan saya kekuatan tambahan untuk melaksanakan ini sebaik-baiknya. Saya meminta masukan dari luar supaya warnanya itu beragam, bisa merangkul dan mencakup semua kepentingan yang harus kita lindungi,” tutur Puan.
Kata Puan Soal Pengesahan RUU TPKS
Puan juga merasa bangga karena banyak perempuan di Indonesia yang peduli dengan nasib sesamanya. Perjuangan kaum perempuan masih kata Puan, terasa berbeda karena memiliki ikatan tersendiri.
“Ada pengalaman khas perempuan. Penderitaan kita itu dari awal sampai akhir, sampai katanya anak itu nggak bisa lepas dari ibunya. Betul, karena saya ibu dua anak dan merasakannya,” tutur politisi PDI-Perjuangan ini.
Puan mengatakan, RUU TPKS harus hadir sebagai satu payung hukum untuk menjaga serta membuat aman masyarakat, khususnya kaum perempuan. Meski begitu, ia juga menilai pentingnya memperhatikan korban-korban kekerasan seksual dari kelompok masyarakat lainnya seperti kaum lelaki dan disabilitas.
“Karena ada juga laki-laki korban kekerasan seksual. Jadi harapannya adalah RUU TPKS ini nantinya dapat melindungi, memberikan rasa aman, nyaman bukan hanya buat perempuan dan anak tapi seluruh warga Indonesia,” kata Puan.
“Ini harus menjadi undang-undang yang dapat membuat kita bekerja dengan nyaman dan merasa dilindungi, agar UU ini juga dapat melindungi anak hingga cicit kita,” sambung perempuan pertama yang menjabat sebagai Ketua DPR ini.