LENTERAJATENG, SEMARANG – Nasi Glewo sebagai penghias dalam perayaan HUT Kota Semarang ke-476 yang digelar oleh Pemkot ternyata punya sejarah panjang dan makna mendalam.
Haryadi Dwi Prasetyo, Penggiat Budaya Warisan Budaya Tak Benda dan Sub Koordinator Sejarah dan Cagar Budaya Disbudpar Kota Semarang, jika Nasi Glewo ini sudah langka.
Sebetulnya, kata Haryadi berdasarkan pada informasi yang dia terima setelah melalui banyak survei di lapangan, nasi ini masih ada hampir di semua 16 kecamatan. Namun yang masih menjaga dan menjualnya adalah di Jalan Batan No 4, Miroto, Semarang Tengah.
“Kami kemudian menemukan nasi glewo di Jalan Batan Nomor 4. Kami menemukan ibu-ibu yang menjual nasi glewo dan sekaligus saya sempat menggali informasi,” katanya.
Lalu berdasarkan informasi yang ia dapat, nasi glewo sudah ada sejak 1930. Jadi apabila dihitung, usianya saat ini sudah lebih dari 50 tahun.
Kemudian Haryadi juga memaparkan bagaimana sajian nasi glewo. Jadi kalau nasi glewo itu menurutnya hampir mirip dengan bubur. Di situ ada nasi dengan sajian ada kuahnya terdiri dari rempah-rempah.
“Lalu juga ada koyornya. Di samping koyor juga ada pilihan dagingnya. Kalau untuk paket lengkapnya adaa koyor dan ada daging namun tidak semua orang suka dengan daging maka pilihannya hanya koyor saja dari daging sapi,” katanya.
Selanjutnya untuk topingnya ada emping goreng, kalau ingin pedas ada sambal sama bawang goreng. Menurut Haryadi nasi glewo akan sangat nikmat jika dihidangkan dalam kondisi yang hangat.
Tidak hanya sekadar hidangan, Haryadi juga menjelaskan nasi glewo punya makna filosofis bagi Kota Semarang. Sajian Nasi Glewo sendiri punya percampuran akulturasi budaya yang dari peranakan Cina-Jawa.
“Masakan-masakan dulu hampir sama seperti kuliner yang ada di Semarang, akukturasi budaya antara Cina dan Arab,” tambahnya.
Sedangkan untuk nilainya, Nasi Glewo inu punya makna kesederhanaan. Oleh karena iulah kenapa Nasi Glewo menunya ada koyor karena saat itu masyarakat punya pola pandang pikir kesederhanaan.
Bahwa pada saat itu kalau kuliner atau makanan-makanan yang istimewa banyak dikonsumsi kalangan pejabat atau konglomerat. Atau makanan itu identik dengan kalangan raja-raja.
Makanya kuliner itu diciptakan masyarakat dulu dengan menu nasi koyor, karena koyor itu kan cukup ekonomis. Banyak menggunakan rempah-rempah untuk meningkatkan cita rasa makanan, seperti yang dilakukan oleh masyarakat Jawa atau Semarang.
“Makanya tidak heran jika bangsa barat berburu rempah dan kemudian menjajah Indonesia,” tambahnya.
Lebih lanjut Haryadi menuturkan, jika makan nasi glewo dalam HUT Kota Semarang ini adalah salah satu upaya Pemerintah Kota Semarang untuk melindungi warisan budaya tak benda berupa kuliner.
Sebetulnya jika ditanya mengenai upaya Pemerintan Kota Semarang melindungi warisan tak benda berupa kuliner itu sudah cukup banyak. Bahkan pada 2022 kemarin kami menginventarisasi mendata warisan budaya tak benda sebanyak 162.
“Dari 162 itu salah satunya yang kami angkat adalah mengenang kembali warisan budaya nasi glewo,” tambahnya. (ADI)