LENTERAJATENG, SEMARANG – Rangkaian Festival Bubak Semarang 2025 dimeriahkan dengan kegiatan Bincang Buku Perjalanan Arya Purwalelana Mengelilingi Jawa. Bincang buku ini dilakukan langsung bersama sejarawan, Rukardi dan filolog Rendra Agusta.
Nama Raden Mas Arya Purwalelana mungkin sedikit asing di telinga. Apalagi mendengar nama aslinya, yakni R.M.A.A Candranegara V.
Candranegara V diketahui pernah menjabat sebagai Bupati Kudus dan Brebes di abad 19. Raden Mas Arya Purwalelana adalah nama pena yang ia gunakan ketika menerbitkan catatan perjalanannya selama berkeliling Pulau Jawa pada kurun waktu 1860 – 1875.
Catatan perjalanan ini terbit dalam Bahasa Jawa dengan judul Lampah-lampahing Raden Mas Arya Purwalelana. Buku ini pernah terbit dalam Bahasa Madura (1882), Perancis (1986), Belanda (2013), Inggris (2020), dan akhirnya terbit dalam Bahasa Indonesia pada Juli 2024 lalu.
Rukardi yang juga tim alih bahasa dan aksara dalam penerbitan buku ini menjelaskan, Purwalelana melakukan perjalanan itu bertujuan untuk menulis dengan sesuatu yang berbeda di zamannya.
“Jadi kelaziman orang Jawa menulis mnggunakan tembang atau puisi. Sedangkan Arya Purwalelana menggunakan prosa,” kata dia, Jumat (24/01/2025).
Arya Purwalelana disebut mengadaptasi cerita perjalanan yang ditulis orang-orang Eropa. Ia merupakan seorang intelektual pada zamannya yang bergaul dengan orang-orang Belanda dan fasih bahasa asing.
Konon, sambung Rukardi, Arya Purwalelana tidak hanya menguasai bahasa Belanda, tapi juga Inggris dan Perancis. Ia hidup dengan beradaptasi budaya barat dan hibrida atau budaya campuran.
“Arya Purwalelana ingin menulis sesuatu yang berbeda. Ia juga membangun jejaring dengan pejabat-pejabat, baik pribumi yang dia temui di tempat yang dikunjunginya,” jelasnya.
Menurut Rukardi, catatan perjalanan RM Arya Purwalelana bukan sekedar catatan perjalanan biasa. Naskah beraksara dan berbahasa Jawa itu ia sebut sebagai karya monumental.
“Pertama mendobrak pakem cerita sastra Jawa yang identik dengan tembang, kedua manuskrip berbahasa Jawa pertama yang didistribusikan dalam bentuk cetakan. Ketiga bereksperimen menggunakan spasi di antara kata, hal yang tidak sesuai dengan konvensi penulisan aksara Jawa,” tegasnya.
Selalu dari Semarang, Memotret Zaman Buku Arya Purwalelana
Di dalam buku tersebut, Purwalenana menuliskan empat babak perjalananya selama mengelilingi Pulau Jawa. Semua perjalanannya berawal dan berakhir di Salatiga (Semarang).
“Karya ini juga menyerupai catatan antropologis yang disajikan secara pandangan mata. Penduduk Semarang misalnya, digambarkan nyaris kehilangan tradisinya akibat ekspansi kaum pendatang. Sebagian dari mereka bahkan tak lancar berbahasa Jawa krama dan berpakaian tak selayaknya orang Jawa,” jelas Rukardi.
Banyak tempat yang Purwalelana kunjungi, mulai dari alun-alun, keraton, museum, pabrik, stasiun, pelabuhan, dan benteng. Purwalelana juga bersinggah di makam, tempat ibadah, situs purbakala, air terjun, termasuk pemukiman warga baik di kota maupun pedalaman.
Purwalelana juga cukup mahir menggambarkan kondisi yang ia temui selama perjalanannya. Mulai dari transportasi, bentang alam, sosio-masyarakat, teknologi, hingga satuan ukuran mata uang.
Ia menuliskannya dengan deskripsi yang mengalir, sehingga pembaca masa itu mendapatkan sensasi baru yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Pembaca seolah-olah turut berpetualang menyusuri tempat-tempat yang diceritakan.
Tak kurang dari 18 karesidenan di Pulau Jawa telah ia sambangi selama kurun waktu 15 tahun. Ini mencatatkan bahwa Arya Purwalelana atau Candranegara V hampir mengunjungi seantero pulau yang memiliki 22 karesidenan.
Karya Candranegara V memuat semacam laporan pandangan mata yang mengajak pembaca berimajinasi tentang lanskap kultural Jawa saat karya ini dibuat. Ia juga menceritakannya secara sistematis di setiap daerah.
Oleh lembaga percetakan pemerintah Hindia Belanda (Landsdrukkerij van Nederlandsch-Indie), tulisan Lampah-lampahing Raden Mas Arya Purwalelana kemudian terbit dalam dua jilid buku, masing-masing pada 1865 dan 1866.
Buku ini kemudian dicetak dan diterbitkan ulang oleh G.C.T van Dorp Semarang pada 1877 dengan judul Cariyos Bab Lampah-lampahing Raden Mas Arya Purwalelana. Adapun jilid II diterbitkan ulang oleh Ogilvie & Co Batavia pada 1880 dengan judul Lampah-lampahing Raden Mas Arya Purwalelana.
Suksesnya Lampah-lampahing Raden Mas Arya Purwalelana menginspirasi penulis-penulis Jawa lainnya. Yang kemudian muncul catatan perjalanan serupa yang ditulis dengan gaya prosa, seperti Cariyos Nagari Betawi karya R.A Sastradarma (1867), Purwa Carita Bali karya R Sastrawijaya (1875), Cariyos Nagari Welandi karya Abdoellah Ibnoe Sabar bin Arkebah (1876).