Oleh: Arfika Pertiwi Putri, M.I.Kom*)
Seiring makin pesatnya industri media digital, konten menjadi komoditas yang terus bermunculan dengan berbagai variasi. Terlebih dengan adanya berbagai platform yang juga memberikan imbalan berupa pundi-pundi rupiah untuk konten dengan jumlah penonton yang banyak. Hal ini kemudian menimbulkan keinginan content creator untuk terus memproduksi konten dan mempertahankan subscriber dan viewers.
Salah satu konten yang cukup diminati ialah konten prank. Menurut kamus Cambridge, prank adalah suatu trik (dibaca: kebohongan) yang digunakan untuk menghibur seseorang, tetapi tidak merusak dan membahayakan. Namun, kini konten prank yang semakin banyak dibuat bukan lagi komedi melainkan dark humor yang krisis etika komunikasi.
Perilaku Aktor dan Regulasi-Diri
Revolusi teknologi membuat pembuat konten berlomba-lomba membuat konten untuk memanfaatkan momentum serta trend. Akan tetapi, mereka yang menunggangi trend kebanyakan tidak melakukan pengkajian ulang dan mempertimbangkan unsur etika. Logika pendek berorientasi pada kecepatan, viral dan kapitalisasi konten. Terdapat tiga dimensi dalam etika komunikasi, yakni tujuan (meta-etika), aksi (deontologi) dan sarana (etika-strategi) (Haryatmoko, 2007). Dimensi yang langsung terkait dengan perilaku aktor komunikasi ialah aksi komunikasi.
Aspek etisnya ditunjukkan pada kehendak baik untuk bertanggung jawab elaborasi informasi yang tidak menyesatkan publik, bahkan melakukan kejahilan sipil. Hal ini menjadi sebuah penanda diperlukannya regulasi-diri seorang pembuat konten serta pemahaman tentang kode etik. Bahkan bisa saja menjadi sebuah agenda penting kesadaran etika profesi content creator.
Kebebasan Produksi Konten Hidupnya Hati Nurani
Kebebasan kadang-kadang dimengerti sebagai kesewenang-wenangan (arbitrariness), dimana seseorang dapat berbuat dan tidak berbuat sesuka hatinya, kebebasan dalam arti ini dilihat sebagai izin atau kesempatan untuk berbuat semau gue (Bertens, 2011). Bebas dalam fenomena ini ialah bebas membuat konten dalam bentuk apapun. Namun, bukan berarti disalahgunakan dengan membuat berbagai macam konten tanpa memikirkan norma, etiket yang ada.
Sebab konten yang ditonton akan memberikan berbagai efek pada penotonnya. Terlebih jika yang membuat ialah public figure seperti selebriti dengan pelanggan saluran media Youtube jutaan orang. Hingar bingar pembuatan konten setidaknya diimbangi dengan tetap hidupnya hati nurani. Hati Nurani merupakan kesadaran moral : “intansi” yang membuat individu menyadari baik atau buruk (secara moral), memerintahkan atau melarang individu melakukan sesuatu.
Pentingnya Literasi Media
Dunia digital yang pesat dengan banyaknya konten yang ada disetiap menit, detik sudah semestinya diimbangi dengan literasi media. Setiap individu memiliki kontrol terhadap konten apa yang mereka konsumsi, apa yang mereka tonton, maupun baca setiap harinya. Yang mana artinya bertanggungjawab dalam pemilihan media yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan.
Namun, dengan keberagaman demografi di Indonesia melek literasi media menjadi pekerjaan rumah yang berkejaran dengan semakin pesatnya produksi konten dan teknologi. Silverblatt (2008) menyebutkan empat tujuan literasi, yakni kesadaran kritis, diskusi, pilihan kritis dan dan aksi sosial. Masyarakat dengan literasi media yang baik memungkinkan ekosistem konten yang semakin sehat dan berkualitas.
*) Dosen Universitas Dian Nuswantoro Semarang