Oleh: Drs Sosiawan MH *)
PEMILU 2024 ditengarai banyak pihak bakal menjadi pesta demokrasi paling krusial di negeri ini pasca Reformasi 1998. Meski di panggung depan sejumlah partai politik menyatakan tekad untuk menjadikan Pemilu 2024 yang sehat dan bermartabat, dengan menghindari penggunaan politik identitas sebagai bagian dari strategi pemenangan guna meraih kekuasaan.
Hal itu bisa dilihat dari sejumlah perhelatan partai politik yang menggelar rapat kerja nasional (Rakernas) serta sejumlah pertemuan antar pmpinan partai politik untuk menjajaki “koalisi” menuju Pemilu 2024, khususnya pada pemilihan presiden (pilpres).
Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang menggagas Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) dengan tegas menyebutkan upaya mencegah terjadinya politik identitas pada Pemilu 2024. Hal itu sebagai tujuan atau alasan penting pembentukan KIB.
Demikian juga dengan pertemuan-pertemuan yang dilakukan para pimpinan partai politik, seperti Nasdem, Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Demokrat, dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Semua komunikasi politik, penjajakan kerjasama atau koalisi dinyatakan sebagai upaya menciptakan Pemilu 2024 yang berkualitas, bermartabat, dan tidak menimbulkan pembelahan di masyarakat, sebagaimana terjadi pada Pemilu 2019.
Pasca Reformasi 1998, Pemilu di Indonesia dinilai sebagai matinya politik massif. Yang ditandai dengan sepinya panggung-panggung kampanye dan kurang maraknya konvoi sepeda motor dengan suara knalpot yang meraung-raung di jalan raya. Hal tersebut terjadi pada Pemilu 2009.
Persaingan memperebutkan suara terbanyak, telah menciptakan sifat dan sikap individualisme politik serta pengabaian terhadap platform maupun ideologi partai. Hal itu merupakan keniscayaan, karena dalam sistem “one man, one vote”, satu suara pun begitu berharga dalam upaya memenangkan pertarungan politik dengan memperoleh suara terbanyak.
Karena itu tidak mengherankan jika banyak peserta Pemilu bersikap, berpikir, dan bertindak pragmatis untuk bisa mendapatkan suara pemilih sebanyak-banyaknya dengan cara apa pun yang diyakini efektif. Pragmatisme politik itulah yang akhirnya melahirkan model politik transaksional, termasuk fenomena politik uang (money politic) yang terjadi begitu masif.
Efektifnya politik uang dalam segala jenis Pemilu tentu tidak bisa dilepaskan dari faktor-faktor atau kondisi yang ada dalam masyarakat sebagai pemilik suara. Sejumlah faktor yang menentukan terjadinya atau bahkan tumbuh suburnya, politik uang dalam masyarakat. Antara lain dipicu oleh faktor ekonomi, rendahnya pendidikan (literasi) politik, nihilnya sanksi moral dan sosial, serta lemahnya pengawasan, baik oleh pengawas resmi Pemilu maupun masyarakat.
Peran Media?
Dalam konteks pengawasan Pemilu, peran pers atau media massa belum terlihat signifikan. Padahal, sesungguhnya dan semestinya, pers atau media massa memiliki fungsi dan peran yang sangat penting, besar, dan strategis dalam pengawasan Pemilu.
Pada dasarnya pers atau media massa merupakan institusi sosial yang memiliki setidaknya empat fungsi pokok. Yakni edukasi (to educate), informasi (to inform), kontrol sosial (social control), dan hiburan (to entertain).
Sesungguhnya jika setiap insan pers dan lembaga media massa memahami dan menyadari keempat fungsi dasar pers, maka media massa atau pers akan menjadi kekuatan besar untuk mencerdaskan masyarakat dan melakukan fungsi pengawasan secara efektif dalam perhelatan politik sebesar, sepenting, serta sestrategis Pemilu.
Namun sayangnya, tidak banyak media massa yang memiliki komitmen atau kesadaran akan peran, fungsi, dan idealisme untuk melakukan pendidikan politik kepada masyarakat serta kontrol sosial dalam pengawasan Pemilu.
Fakta di lapangan menunjukkan, persaingan antar peserta, seperti pada Pemilu legislatif (pileg), baik secara internal dalam satu partai politik (parpol) pada daerah pemilihan (dapil) yang sama maupun antar caleg dari parpol lain. Kondisi tersebut telah menciptakan kecenderungan perilaku menghalalkan segala cara untuk mendapatkan dukungan suara.
Pada sisi lain, masyarakat yang memiliki hak pilih juga akan cenderung bersikap “jual mahal”, karena mengetahui bahwa hak suaranya sangat berarti dan dibutuhkan para caleg.
Terjadinya perilaku pragmatis, baik warga masyarakat sebagai calon pemilih maupun elit parpol, sesungguhnya merupakan konsekuensi logis telah terjadinya fenomena perpolitikan tanpa (zonder) ideologi. Pada waktu yang sama juga terjadi fenomena mengaburnya identitas atau karakter parpol sebagai faktor pembeda dalam menentukan peta jalan pembangunan bangsa dan negara.
Padahal, demokrasi yang diderivasikan secara praktis ke dalam Pemilu yang berkualitas dan elegan hanya akan terwujud ketika diikuti dengan terciptanya kemakmuran atau kesejahteraan masyarakat yang memadai.
Politik transaksional, yang banyak dipahami sebagai “political trading”, secara sederhana merupakan penamaan ketika praktek politik sudah dimaknai sebagai bentuk/mekanisme perdagangan. Ada yang menjual dan ada yang membeli, sehingga terjadi transaksi, sebagaimana mekanisme dalam perdagangan, yakni antara rakyat dan politisi.
Dengan demikian, politik transaksional bisa terjadi karena kedua belah pihak saling memahami dan dalam kesadaran saling membutuhkan; “suka sama suka”. Padahal fenomena yang sesungguhnya merupakan ancaman terhadap demokrasi, yang terjadi karena runtuhnya keyakinan pada kredo, bahwa politik adalah jalan dan cara untuk menyejahterakan masyarakat.
Menurut tesis Hans Joergen, demokrasi meniscayakan terjadinya kompetisi, partisipasi, dan kebebasan untuk memilih. Namun dalam kenyataan politik dan ptaktik demokrasi, selalu meniscayakan adanya ”jebakan materialisme” yang mampu meruntuhkan nilai-nilai kejujuran, kebenaran, kebajikan, dan keyakinan sesuai hati nurani.
Yang terjadi adalah logika pasar yang berujung politik transaksional. Maka banyak yang menilai bahwa politik transaksional atau politik uang merupakan “tradisi” dalam demokrasi di negeri ini.
Munculnya praktek politik uang untuk mencapai tujuan dan kepentingan pragmatis akan menyebabkan terjadinya upaya pengerahan segala daya dan upaya, sehingga cenderung menghalalkan segala cara guna meraih kedudukan/kekuasaan. Dampak lanjutan sebagai konsekuensi logis dari praktek politik uang adalah terpilihnya pemimpin yang berwatak elitis serta menjadikan kursi kekuasaan sebagai sarana untuk memperkaya diri dan lingkungan politiknya.
Pragmatisme politik yang secara kasat mata terjadi di masyarakat, antara lain dalam bentuk politik uang, sesungguhnya juga merupakan enomena “gagap demokrasi” yang melanda negeri ini, hingga seolah menjadi “tradisi” dalam setiap pesta demokrasi. ”Gagap demokrasi” terjadi, karena Indonesia megalami sebuah “revolusi” demokrasi yang dipicu terjadinya Reformasi 1998, nenandai jatuhnya Soeharto dan rezim Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun.
Reformasi telah membawa perubahan total terhadap tatanan kehidupan negara dalam segala bidang dengan sangat cepat, bahkan mendadak; dari sistem otoritarian menjadi sistem demokrasi yang medasarkan pada kedaulatan rakyat. Padahal, sudah lebih dari tiga dasawarsa, kekuatan dan kedaulatan rakyat telah dilumpuhkan oleh rezim Orde Baru.
Pengawasan Sinergis-Kolaboratif
Dalam kondisi “gagap demokrasi” inilah muncul pragmatisme-pragmatisme politik, baik pada tataran elit politik, parpol, maupun masyarakat yang sebagian besar memang belum “melek” politik. Maka, pekerjan rumah terbesar kita dalam upaya mewujudkan demorasi yang sehat dan bermartabat di negeri ini, adalah literasi/pendidikan politik dan pengawasan Pemilu yang berbasis pada partisipasi masyarakat dengan strategi sinergis-kolaboratif.
Mengapa demikian, karena mustahil pengawasan hanya diserahkan/dilakukan oleh penyelenggara Pemilu (Bawaslu) dan aparat keamanan.
Hal mendasar dalam pendidikan politik perlu dilakukan secara sinergis dan kolaboratif, baik oleh pemerintah/negara, penyelenggara (Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu), Perguruan Tinggi, lembaga media massa, tokoh masyarakat, partai politik, lembaga swadaya masyarakat, dan lain-lain.
Kolaborasi dan sinergi menjadi kaa kunci, mengingat pragmatism politik, seperti politik uang, seolah telah menjadi “budaya/tradisi” dalam setiap perhelatan politik yang bersifat kontestasi dalam memperebutkan suara rakyat.
Dengan kata lain, terdapat sikap ambigu di masyarakat terhadap praktek politik uang. Pada satu sisi dinilai sebagai bentuk kecurangan atau kejahatan yang harus dimusuhi.
Namun pada sisi lain, tidak sedikit warga masyarakat yang memiliki hak pilih, justru berharap ada kontestan pemilu yang membeli suaranya. Maka muncullah istilah “menanti serangan fajar”. Dalam konteks ini, peran pers / media massa sesungguhnya sagat besar, penting, dan strategis.
Baik dalam pendidikan politik masyarakat maupun pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemilu, sebagai bagian dari pelaksanaan fungsi kontrol – sosial. Lewat pemberitaan, editorial, maupun bentuk-bentuk tulisan lainnya, media massa memiliki “kuasa”/pengaruh sangat besar bagi pembentukan opini masyarakat (public opinion)
Senyampang Pemilu 2024 baru memasuki tahap-tahap awal, maka semua pihak dan pemangku kepentingan perlu bersinergi dan berkolaborasi untuk mewujudkan Pemilu 2024 yang berkualitas dan bermartabat. Semoga!
*) Ketua Komisi Informasi Jawa Tengah dan wartawan senior.