LENTERAJATENG, SEMARANG – Prof Dr Ir Eflita Yohana MT PhD, dosen Departemen Teknik Mesin Fakultas Teknik (FT) Universitas Diponegoro (Undip) Semarang dengan kepakaran dehumidifikasi, bersama tim berhasil mengembangkan inovasi alat pengering vibro nano dehumidifikasi untuk produksi fine powder teh hijau.
Dengan mengembangkan mesin pengering inovatif diharapkan menjadi solusi bagi industri-industri teh hijau di Indonesia.
Prof Eflita mengungkapkan pengembangan mesin vibrating fluidized bed drier atau pengering vibro unggun terfluidisasi mampu menghasilkan teh hijau berkatekin tinggi dan kadar air sekitar 2–3 persen.
Riset ini merupakan kolaborasi bersama dengan Prof Hwi-Ung Choi, Prof Kwang-Hwan Choi dari Korea dan Tim Peneliti dari Sekolah Vokasi Undip yakni Mohamad Endy Yulianto ST MT dan Hermawan Dwi Ariyanto ST MSc PhD yang telah didanai Undip dengan skema Riset Publikasi Internasional (RPI).
Penelitian bertemakan ‘Fundamental Studies Of Vibro-Continous Drying With Nanoliquid Desiccant Dehumidification For Production Of Fine Powder Green Tea’ merupakan inovasi produksi fine powder teh hijau.
Guru Besar Undip pemilik 11 paten ini memaparkan bahwa salah satu tahapan penting dalam pengolahan functional fine powder teh hijau yaitu proses pengeringan.
“Selama ini pengering yang digunakan untuk pengolahan teh hijau, menggunakan tipe endless chain pressure (ECP) drier dengan kebutuhan energi cukup besar, yaitu 1.991 kilo Joule per Kilogram teh atau setara dengan kebutuhan BBM 0,24 liter IDO per kilogram teh kering,” kata Prof Eflita
Ia telah mengimplementasikan beberapa produk hilirisasi di industri teh dengan nomor Paten IDS000007201.
Prof Eflita menyebutkan, ditinjau dari segi teknologi, pengering selama ini masih bersifat konvensional, karena terjadi peristiwa case hardening, bagian luar partikel teh telah kering, tetapi bagian dalamnya masih basah. Teh akan terasa soft dan cepat berjamur yang disebabkan oleh suhu outlet terlalu tinggi, bakey, burnt, over fired (terbakar atau gosong), disebabkan oleh suhu yang terlalu tinggi. Maka smokey (bau asap), kemudian teh kering kurang masak serta terjadi fall trough dan banyak blow out, disebabkan oleh laju alir udara terlalu besar.
Akibatnya produk teh hijau yang dihasilkan memiliki kadar air relatif tinggi.
Kadar air yang masih tinggi ini, memungkinkan terjadinya proses oksidasi enzimatik polifenol, sehingga kadar katekin teh hijau yang dihasilkan juga relatif rendah.
“Untuk itu inovasi mesin pengering yang dikembangkan berupa pengering vibrating fluidized bed yang didehumidifikasi absorpsi menggunakan nanofluida desiccant,” tuturnya.
Adapun Endy menambahkan bahwa senyawa polifenol teh hijau, terdiri atas catechin, epicatechin, epigallocatechin, epicatechin gallate, epigallocatehchin gallat dan asam gallat, dinyatakan memiliki aktivitas anti kanker, mampu mencegah penyakit kardiovaskular, obesitas dan penyakit-penyakit degeneratif lainnya.
Keluasan spektrum aktivitas farmakologi polifenol teh hijau mendorong proses inkoroporasinya pada berbagai produk pangan.
“Keunggulan ini membuka peluang bagi industri teh Indonesia untuk memproduksi teh hijau berkatekin tinggi sebagai fine powder yang mulai populer pemakaiannya saat ini. Fine powder merupakan hasil grinding teh hijau dengan ukuran partikel 20-100 µm komposisi senyawa polifenol, asam amino, sakarida dan kafein. Fine powder teh hijau dapat diaplikasikan di berbagai industri diantaranya seperti kosmetik fungsional, pangan fungsional, ready to drink, bakery, farmaseutical, dan flavor,” terang Endy.
Meski demikian penerapan pengering vibro di industri teh hijau masih memungkinkan terjadi adanya peristiwa epimerisasi katekin menjadi isomer-isomer seperti produk intermediet theaflavin dan degradasi termal katekin.
Fenomena ini terjadi karena kondisi operasi pengering yang relatif cukup tinggi, menyebabkan senyawa-senyawa polifenol berubah menjadi theaflavin dan isomer-isomernya.
Akibatnya, mengurangi kadar katekin teh hijau yang dihasilkan.
“Untuk itu, proses pengeringan sebaiknya dilakukan pada temperatur dan relative humidity yang rendah. yaitu dengan dehumidifikasi absorpsi. Dehumidifikasi udara sebagai media pengering menggunakan liquid dessicant CaCl2 yang didispersikan nano partikel CuO berpotensi untuk meningkatkan kualitas produk, dan efisiensi energi proses pengering,” urai Endy.
Prof. Eflita juga mengimbuhkan dehumidifikasi udara menggunakan liquid dessicant calcium chloride (CaCl2) berpotensi untuk meningkatkan kualitas produk, dan efisiensi energi proses pengering.
“Proses pengeringan yang didehumidifikasi absorpsi lebih cepat dibanding pengeringan konvensional, karena RH udara semakin rendah maka semakin banyak air yang teruapkan dan kesetimbangan kadar air akan tercapai lebih cepat. Hasil analisis menunjukkan bahwa pengering berbasis dehumidifikasi absorpsi sangat mungkin diterapkan dalam produksi teh hijau sebagai fine powder untuk menghemat konsumsi energi dan meningkatkan produktivitas hingga Rp. 1.950 per kilogram teh jadi,” jelas Prof Eflita.
Tim yang tergabung saat ini telah bekerjasama dengan industri teh, Pusat Penelitian Teh dan Kina (PPTK) Gambung di Bandung Selatan dan PT Rumpun Sari Medini untuk pengembangan produk komersial fine powder teh hijau.
“Semoga dalam waktu dekat bisa segera dikomersialisasi fine powder teh hijau di industri melalui riset terapan dan komersial, sehingga hasil riset ini nantinya bisa bermanfaat untuk masyarakat dan industri berbasis kosmetik fungsional, pangan fungsional, ready to drink, bakery, farmaseutical, dan flavor,“ pungkas Prof Eflita.