LenteraJateng, SEMARANG – Fenomena ‘Blood Moon’ terjadi saat gerhana bulan total pada Selasa (8/11/2022) malam. Disebut ‘Blood Moon’ karena warna bulan menjadi kemerahan seperti darah.
Fenomena ‘Blood Moon’ ini kemudian dijelaskan oleh Kepala Planetarium dan Observatorium UIN Walisongo Semarang Ahmad Syifaul Anam. Nama ‘Blood Moon’ melekat lantaran warna bulan yang kemerahan akibat pantulan cahaya matahari.
“Sinar matahari tidak semuanya tertutup, tapi masih ada beberapa yang lolos. Lalu dipantulkan oleh bulan ketika gerhana total, jadi ini cenderung kaya darah, warnanya merah,” terang Ahmad, Selasa (8/11/2022).
Kondisi lainnya gerhana ini adalah gerhana total yang terjadi menjelang terbitnya bulan dan sesaat setelah tenggelamnya matahari.
Dengan adanya fenomena gerhana bulan total ini, menurut Ahmad, menjadi kesempatan untuk mengkoreksi hisab-hisab yang ada di seluruh Indonesia.
“Yang terpenting justru dengan observasi semacam ini kita bisa mengkalibrasi, mengoreksi, dan memvalidasi hisab-hisab yang ada di seluruh Indonesia. Dengan adanya gerhana ini kita akan mendapati hisab yang akurat,” jelasnya.
Gerhana bulan total mulai dapat teramati di Kota Semarang sejak pukul 18.02 WIB lantaran cuaca sedikit berawan. Fenomena ini kemudian berlangsung hingga pukul 19.40 WIB.
Selama observasi, Planetarium UIN Walisongo menggunakan menggunakan teropong utama dengan diameter 17 inchi. Kemudian menggunakan tiga teropong kecil lainnya.
“Yang ditangkap oleh teleskop kami tampilkan secara visual. Orang yang tidak bisa mengintip, kemudian bisa melihat melalui tv dan juga streaming,” imbuhnya.
Ahmad menambahkan, gerhana bulan total ini menjadi fenomena yang menarik dan jarang terjadi. Pihaknya lalu membuka observasi ilmiah dan edukasi melalui simulasi.
Pengunjung yang didominasi oleh mahasiswa UIN Walisongo bahkan membludak sejak sore. Sebelum melakukan pengamatan bersama, mereka mengikuti sesi simulasi gerhana di dalam planetarium.
Mengikis Mitos, Fenomena ‘Blood Moon’
Menurut Ahmad, dengan adanya pengamatan yang dilakukan ini, dapat mengikis mitos soal gerhana. Seperti mitos yang beredar di masyarakat soal gerhana, biasanya adalah cerita soal bulan yang dimakan raksasa atau buto.
“Kalau itu (mitos) jadi khazanah budaya, it’s okay. Tapi dengan kegiatan ilmiah semacam ini sebagai pengetahuan bahwa gerhana adalah fenomena alam biasa yang sesungguhnya bisa kita nikmati dan sekaligus ada pembelajaran secara umum,” tandasnya.