LENTERAJATENG, SEMARANG – Ratusan warga berebut roti ganjel rel di aloon-aloon Semarang. Roti ganjel rel menjadi makanan khas jelang Ramadan.
Andum ganjel rel atau membagi ganjel rel itu dilakukan usai tradisi Dugderan usai.
Tak sedikit warga yang berdesak-desakan hendak mengambil ganjel rel. Roti bertabur wijen itu berbahan gula jawa dan rempah, seperti jahe dan cengkeh.
Sari (39), warga Semarang Utara itu mengaku telah beberapa kali mengikuti tradisi andum ganjel rel saat Dugderan ini. Ia menantikan momen bisa mendapat ganjel rel untuk dibawa pulang.
“Iya sudah beberapa kali ikut, nggak bisa bikin rotinya, jadi nunggu pas Dugderan saja,” ujarnya kepada LENTERAJATENG, Jumat (28/2/2025).
Sri membawa serta keluarganya ke aloon-aloon Semarang untuk ikut meramaikan Dugderan. Sejak pukul 16.00 WIB ia standby di area aloon-aloon agar dekat dari kerumunan.
Lain lagi dengan Susanto (43) yang merupakan pendatang. Ia awalnya tak tahu menahu jika tradisi Dugderan ditutup dengan pembagian roti ganjel rel.
Melihat masyarakat yang berebut ganjel rel, ia spontan ikut mencari gunungan roti.
“Tadi ikut-ikutan yang lain saja pada ke tengah. Tadinya di pinggir sini sama anak-anak lihat mainan,” ujarnya.
Tradisi Dugderan, Warga Berebut Ganjel Rel
Membagikan roti ganjel rel menjadi bagian penutup tradisi Dugderan. Dugderan menjadi penanda bermulanya bulan Ramadan.
Sejarah Dugderan dapat ditelusuri hingga tahun 1881 pada masa kepemimpinan Bupati Semarang, Raden Mas Tumenggung Aryo Purboningrat.
Dugderan dimulai dengan pembacaan suhuf halaqoh yang berisi pengumuman awal Ramadan. Kemudian dilanjutkan dengan pemukulan bedug dan dentuman keras suara mercon.
Saat itu, masyarakat belum memiliki sistem komunikasi yang efektif untuk mengetahui awal Ramadan.
Sebagai solusi, sang Bupati menciptakan inovasi berupa pengumuman resmi yang ditandai dengan bunyi bedug (‘dug’) sebanyak 17 kali dan dentuman meriam (‘der’) sebanyak 7 kali. Dari sinilah istilah ‘Dugderan’ berasal.
Seiring perkembangan zaman, Dugderan mengalami transformasi. Jika pada masa lalu, meriam digunakan sebagai bagian dari prosesi, kini perayaan berkembang dengan aktivitas yang lebih beragam yang mengandung unsur budaya dan ekonomi.
Masyarakat Semarang tetap melestarikan tradisi ini dengan berbagai kegiatan, termasuk pawai budaya. Serta pasar rakyat yang menjajakan berbagai kerajinan, permainan tradisional, dan kebutuhan Ramadan.