LenteraJateng, SEMARANG – Lebih dari satu abad berlalu sejak Sarekat Islam atau awal mulanya Sarekat Dagang Islam berdiri pada 16 Oktober 1905. Diinisiasi oleh Haji Samanhudi, SI adalah perkumpulan pedagang-pedagang Islam yang menentang politik Belanda.
Pada masa itu, Belanda memberi keleluasaan masuknya pedagang asing untuk menguasai ekonomi rakyat.
SI kemudian berkembang menjadi organisasi dengan arah politik dan agama. Gunanya untuk menyumbangkan semangat perjuangan Islam dalam semangat juang rakyat melawan kolonialisme dan imperialisme.
Seiring berjalannya waktu, SI kemudian berkembang pesat dan memiliki anak cabang yang tersebar di berbagai penjuru di Jawa. Salah satunya berada di Kota Semarang.
SI Semarang dipimpin oleh Semaoen sejak 1917 setelah sebelumnya Mohammad Joesoef yang menahkodainya. Semaoen saat itu juga menjabat sebagai Ketua Perserikatan Buruh Kereta Api atau VSTP atau Vereniging van Spoor-en Tramwegpersoneel (VSTP) yang aktif dalam pergerakan melawan kapitalisme, terwakili Pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Dikutip dari buku ‘Di Bawah Lentera Merah’ yang ditulis oleh Soe Hok Gie, Semaoen membuat arah organisasi yang tadinya adalah gerakan kaum menengah, berubah menjadi pergerakan bagi kaum buruh dan rakyat kecil. Perubahan ini menjadi momen penting karena dari sini lahirlah gerakan kaum Marxis pertama di Indonesia.
Semaoen lalu menemuan dua rekan yang cakap membantu pergerakan SI Semarang. Yang pertama adalah seorang pemuda berusia 19 tahun bernama Darsono. Ia merupakan anak pegawai negeri dan menamatkan sekolah sebagai ahli pertanian di perkebunan.
“Ia (Darsono) melihat bagaimana makan kurang cukup. Bodoh-bodoh seperti anak-anak, meskipun sudah besar. Sakit kurang yang memelihara yang sebaik-baiknya, berumah dalam kombong-kombong dengan kekurangan semua perkara,” tulis Semaoen seperti dikutip Soe Hok Gie dalam bukunya, mengenai Darsono.
Orang kedua yang Semaoen ajak untuk bergabung dengannya adalah Mas Marco Kartodikromo. Ia adalah seorang wartawan yang pernah memimpin harian Sorotomo di Solo tahun 1913. Mas Marco sempat masuk penjara lantaran memuat tulisan tentang pergerakan nasional.
Semaoen Melawan
Pengamat Sejarah dari Fakultas Ilmu Sosial (FIS) Universitas Negeri Semarang (Unnes) Prof Wasino menyebut, selama memimpin SI Semarang, Semaoen terus berjuang melawan kaum borjuis. Perlawanannya adalah dengan melancarkan aksi pemogokan, menentang kapitalis atau pemerintah.
“Di Semarang (SI) dipimpin Semaoen, ada juga Darsono sebagai anggota. Mereka memang menjadi lebih dulu radikal dan menjadi dasar munculnya PKI (SI Merah),” kata Prof Wasino.
Pegerakan Semaoen melalui SI Semarang ini kemudian dinilai bertolak belakang dengan Central Sarekat Islam (CSI) atau SI di tingkat pusat. Sehingga, CSI menganggap bahwa aksi yang Semaoen lakukan telah melenceng karena terlalu kekiri-kirian.
Akibatnya, SI secara resmi mengeluarkan Semaoen. Lalu ia membentuk SI Merah dengan pemikiran sosial-komunis. Konflik inilah yang menjadi awal mula perpecahan SI Putih dengan unsur keagamaanya.
Dalam komando Semaoen dan kawan-kawan, SI Merah terus mengembangkan sayap kirinya dengan berbagai cara pada setiap golongan masyarakat. Tujuannya, yakni mencari simpati serta dukungan agar makin banyak anggota yang bergabung untuk menyuarakan pemikiran sosial-komunisnya.
“Karena terlaku kuat (pemikiran sosial-komunisnya) dan nasionalis, kemudian merangkul semua golongan. Mereka (anggota SI Semarang) umumnya pelajar dan senang menulis, wartawan dan sebagainya. Terus muncul atau pecahlah menjadi SI Merah karena perbedaan ideologi,” tuturnya.
Akhirnya, pada tahun 1924 berakhirlah kisah perjalanan panjang SI Merah. Di tahun tersebut, SI Merah bermetamorfois menjadi Sarekat Rakyat dan Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan Semaoen menjabat sebagai Ketua Umum pertamanya.
Balai Muslimin Jadi Saksi, Semaoen dan Jejak Sarekat Islam yang Tersisa di Kota Lumpia
Di sebuah perkampungan di daerah Semarang Timur, terdapat sebuah bangunan yang warga setempat menyebutnya sebagai Balai Muslimin. Bangunan ini dulunya aktif sebagai tempat SI Semarang berkumpul, berdiskusi, bahkan memanfaatkannya sebagai sekolah.
Wasino memang tak menampik jika ada hubunganya dengan cikal bakal kemunculan PKI. Namun, secara historis gedung tersebut murni SI atau tak berhubungan langsung dengan PKI.
“Gedung itu utuh (SI murni). Karena ada sebelum adanya perpecahan antara Darsono dan Agus Salim (SI Merah dan SI Putih),” tuturnya.
Wasino pun menilai, antara SI dan komunisme sebenarnya berada dalam satu induk yang sama. Namun, salah satunya, yakni munculnya SI Merah lebih menekankan pada keadilan sosial.
“Makanya dulu sempat mau dibongkar (Gedung SI Semarang), alasanya komunis. Padahal tidak. Hanya perkembanganya, memang ada perpecahanan yang kemudian muncul SI Merah,” tandasnya.
Gedung SI itu kini masih berdiri kokoh di Kampung Gendong Utara, Semarang Timur. Bangunan dengan cat warna putih dan atap bertingkat itu merupakan saksi bisu perjalanan Semaoen bersama SI dan juga sebagian tokoh pergerakan sejak era 1920-an.
Banyak peristiwa besar juga berawal dari bangunan ini. Tan Malaka pernah menggunakan bangunan itu untuk Sarekat Islam School pada tahun 1921. Dari sinilah, SI School kemudian membuka cabang di Bandung, Pekalongan, Batavia, Surabaya dan lainnya.
Bahkan, presiden pertama RI, Ir. Soekarno pernah singgah dan menyampaikan pidatonya di gedung ini saat sedang menggembleng Partai Indonesia (Partindo) pada waktu itu.
Kini Yayasan Baitul Muslimin (YABAMI) menjadi pengelola gedung tersebut setelah sebelumnya berpindah tangan dari satuan militer. Gedung SI kemudian berfungsi sebagai sarana kegiatan keagamaan dan juga sosial kemasyarakatan.