LenteraJateng, SEMARANG – Bangunan terbuka yang menyerupai sebuah rumah, terlihat terombang-ambing di atas tambak. Dengan atapnya yang berwarna coklat, bangunan tanpa tembok itu pagarnya terkunci.
Dari balik teralis, terlihat ruangan terbuka yang tampak lusuh. Beberapa buah buku bertebaran dan terbuka di beberapa bagian.
Saat menengok ke dalam, bagian lantai dua nampak pagar pembatas dengan teralis besi. Kondisi di lantai dua juga tak bisa terpantau mengingat pagarnya terkunci gembok besi.
Melihat dari luar, rumah apung tersebut berdiri di atas sebuah poton berukuran 10 x 14 meter yang dapat bertahan hingga 50 tahun. Agar tak lepas kemana-mana, rumah apung ini tertambat ke beberapa ruas tali di pinggir jalan kampung tersebut.
Bahkan, jembatan penghubung antara jalan dengan bangunan rumah apung tersebut terputus dan tak tersambung lagi.
Padahal, bangunan yang berfungsi balai warga sekaligus rumah baca dengan luas 72 meter persegi itu juga lengkapi 300 buku untuk anak-anak dan remaja.
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono meresmikan rumah apung, pada November 2016 lalu di RT 1 RW 16, Tanjung Emas, Semarang Utara, Kota Semarang.
Namun kini, kondisinya seperti nyaris tak tersentuh tangan manusia. Padahal, rumah baca apung ini digadang-gadang memiliki konsep bangunan ramah lingkungan, mandiri dalam memenuhi kebutuhan energi dan tidak mencemari lingkungan.
Kebutuhan listrik juga terpenuhi secara mandiri karena menggunakan panel tenaga surya dengan kekuatan seribu watt.
Selain itu, untuk memenuhi kebutuhan air bersih, dalam bangunan ini juga dipasang destilator yang dapat mengubah air laut menjadi air bersih dan untuk pembuangan menggunakan biofil yang merupakan teknologi Balitbang PUPR.
Sempat Berfungsi, Rumah Baca Apung Pertama di Indonesia yang Kini Terbengkalai
Ketua RT setempat, Arifin menjelaskan, rumah baca tersebut sudah terbengkalai sejak pertengahan 2019. Meski rumah baca itu sempat berfungsi setelah diresmikan.
“Awal dibangun itu masih jalan. Tapi setelah pendamping perpustakaan nggak ada, mulai mati,” kata Arifin, Senin (5/9/2022).
Arifin berharap, setidaknya pendamping tersebut dapat kembali aktif agar menarik minat masyarakat lingkungan sekitar. Khususnya bagi anak-anak yang antusias terhadap keberadaan rumah baca apung itu.
Beberapa tahun belakangan, ia juga telah meminta perbaikan maupun perawatan kepada pemerintah, namun ia mendapati jawaban yang kurang memuaskan.
“Hampir lima tahun lebih responnya lempar-lemparan, Pemkot Semarang belum tanggungjawab karena belum diserahterimakan. Jadi ini masih tanggung jawab pusat (PUPR),” bebernya.
Padahal, lanjut Arifin, pihak penanggung jawab sempat datang untuk melihat kondisi rumah baca apung tersebut, tepatnya pada Februari 2022 lalu. Kunjungan ini berlangsung seusai tali jembatan penghubungnya terputus.
“Nggak nanya perkembangan. Seharusnya kan juga menanyakan gimana rumah bacanya, aktif nggak, kurangnya apa. Maksud saya begitu,” tutup dia.