LenteraJateng, SEMARANG – Tidak dipungkiri dengan perkembangan zaman yang semakin pesat, membuat masyarakat dituntut untuk berpacu berpikir kritis dalam merespon dan menyikapinya. Tidak hanya perkembangan pada sains dan teknologi, pun juga sosial-budaya yang terus berkembang dan tentunya ada pelbagai permasalahan dalam mengikuti perkembangan zaman itu.
Untuk itu, Program Studi (Prodi) Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Diponegoro (Undip) menggelar Kuliah Umum Bahasa, Sastra, dan Budaya yang bertajuk “Multikulturalisme di Indonesia pada Era Kekinian”.
Dalam kuliah umum tersebut, menghadirkan tiga pemateri yang ahli di bidang humaniora di beberapa universitas di Indonesia, yang meliputi Prof Dr Munirah MPd dari Universitas Muhammadiyah Makassar, Prof Dr Benny Ridwan MHum dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, beserta Prof Dr Muhadjirin Tohir MA dari Undip.
Dekan FIB Undip Dr Nurhayati MHum mengatakan tema tersebut sangat berhubungan dengan kondisi sekarang dan sudah selayaknya para akademisi dapat bersumbangsinh menghadapi persoalan persoalan yang ada.
“Tema ini sangat relevan dengan situasi saat ini, tugas kita sebagai akademisi sosial humaniora untuk menyelesaikan permasalahan sosial di Indonesia yang multikultural. Semoga kuliah umum ini bisa memberikan jawaban dari permasalahan tersebut dan menambah insight baru untuk semua,” kata Dekan FIB Undip Nurhayati.
Prof Munirah mengatakan, keberagaman budaya perlu perkenalkan pada generasi sekarang melalui pendidikan yang juga telah dibakukan dalam program pemerintah. Hal tersebut salah satu upaya untuk menyadarkan generasi milenial akan multikulturalisme.
“Pemahaman multikulturalisme menumbuhkan toleransi yang bermanfaat ketika individu melakukan interaksi sosial. Saya sangat mendukung program pertukaran mahasiswa, karena dari program itu mereka dapat belajar tentang Ke-Bhineka-an,” terang Prof Muriah.
Sedangkan Prof Benny menekankan, pentingnya persatuan yang harus ditanamkan di tengah masyarakat yang majemuk seperti Indonesia. Tentu kesadaran akan pemahaman merengkuh yang liyan/ the others dalam upaya membangun nilai-nilai kemanusiaan atas pelbagai keberagaman mengingat hidup berdampingan.
“Tantangannya ada dua, yaitu globalisme dan fundamentalisme. Pentingnya persatuan harus ditanamkan, salah satunya dengan penghargaan terhadap liyan (orang lain),”
Sementara itu, Prof Muhadjirin mengatakan, dalam konstruksi antropologi, manusia dapat hidup layak ketika kebutuhannya terpenuhi. Dan di Indonesia multikulturalisme ditunjukan dalam ke-Bhineka Tunggal Ika yang ada, sebagai way of life berdasarkan Pancasila.
“Hal yang berbeda dengan keyakinan kita bukan berarti salah, contohnya pawang hujan yang bisa dikategorikan sebagai local knowledge,” tuturnya.
Dalam kesimpulan, Kaprodi S1 Sastra Indonesia Undip Dr Sukarjo Waluyo MHum mengatakan, budaya memiliki aspek tangible dan intangible. Sehingga pemahaman mengenai multikulturalisme adalah sebuah proses dari perkembangan mengikuti perubahan era.
Editor: Puthut Ami Luhur