LenteraJateng, SEMARANG – Sebuah kijing makam berukuran sedang menyembul di bagian ujung salah satu bangunan SMP Negeri 38 Semarang. Sekolah yang berada di belakang kompleks pertokoan Jalan Agus Salim atau kawasan Bubakan itu, sempat ramai diperbincangkan lantaran terdapat sebuah kijing makam yang dipercaya adalah petilasan pendiri Semarang.
Petilasan berupa kijing makam tak bernama itu, berbentuk persegi panjang dengan cat yang sedikit mengelupas di beberapa bagian. Beberapa helai bunga kering terlihat berada di tengahnya.
Petilasan makam Bubakan, demikan sebutannya, berada di lantai satu sisi timur laut gedung SMPN 38 Semarang. Sekolah ini bertempat di Jalan Bubakan No 29, Kelurahan Purwodinatan, Semarang Tengah, tak jauh dari Masjid Pekojan maupun kawasan Pecinan.
Warga sekitar meyakini, petilasan tersebut adalah bekas makam pendiri Semarang, Ki Ageng Pandanaran I. Sekaligus sebagai tempat cikal bakal pembangunan di Kota Semarang.
Kepala SMP Negeri 38, Slamet, mengaku awalnya ia tak tahu jika di dalam sekolah ada sebuah petilasan makam. Ia mendapat informasi dari kepala sekolah sebelumnya dan diminta untuk merawat petilasan tersebut.
“Kami menghargai orang-orang yang datang kemari untuk berdoa atau melakukan ritual. Jadi kami persilahkan untuk masuk, biasanya mereka datang di malam hari,” beber Slamet, saat ditemui beberapa waktu lalu.
Biasanya, di malam Jumat Kliwon atau Selasa Kliwon, orang-orang berdatangan untuk berdoa. Mereka tinggal mengetuk pagar agar dibukakan pintu oleh penjaga sekolah.
Slamet menambahkan, saat ini pihaknya sedang mencari literatur yang bisa menjadi petunjuk sejarah dari petilasan Bubakan. Sekolah juga membuka diri dengan kehadiran para ahli sejarah yang hendak menelusuri cerita peradaban lampau petilasan.
“Kami akan mencoba mencari literasi sejarah Semarang di perpustakaan Kauman,” beber dia.
Sebagai Tempat Istirahat, Petilasan Ini Diyakini Makam Ki Ageng Pandanaran
Pembantu Pimpinan Bidang Sarana Prasarana SMPN 38, Ali Imron menambahkan, versi para sesepuh di Bubakan menyebutkan di sela kesibukannya menyiarkan agama Islam, Ki Ageng Pandanaran kerap menjadikan titik tersebut sebagai tempat istirahat. Hingga akhir hayatnya dan kemudian dimakamkan di tempat itu.
“Para orang tua di sini (Bubakan) mendapat cerita itu turun temurun dari buyut-buyutnya. Bahwa di tempat itu, Ki Ageng Pandanaran menancapkan tongkatnya saat beristirahat,” terangnya.
Masyarakat sekitar juga mempercayai tentang ditancapkannya tongkat Ki Pandanaran uang kemudian menjadi tetenger atau pertanda bahwa kelak geliat pembangunan Kota Semarang berawal dari tempat itu atau Bubakan.
Sementara, keyakinan petilasan merupakan bekas makam Ki Pandanaran juga tertulis dalam penggalan cerita di catatan Amen Budiman dalam buku Semarang Riwayatmu Dulu jilid pertama.
Buku yang terbit tahun 1978 menyebutkan setelah Ki Ageng Pandan Arang atau Pandanaran meninggal, jenazahnya dimakamkan di kompleks kabupatennya di Bubakan.
Hanya saja, karena kawasan itu di era penjajahan Belanda digunakan untuk pembangunan gedung pengadilan. Maka makam dan jenazah Ki Ageng Pandan Arang kemudian dipindah ke Tinjomoyo alias Pakisaji, di kompleks bekas padepokannya, ketika ia mulai pertama tiba di Pulau Tirang.
Terpisah, Sekda Kota Semarang, Iswar Aminuddin mengapresiasi langkah SMP 38 yang tetap merawat petilasan yang diyakini masyarakat sebagai bekas makam Ki Ageng Pandanaran.
“Saya rasa keberadaan petilasan tidak akan mengganggu aktivitas belajar mengajar di tempat ini. Bahkan bisa disinergikan dengan pelajaran sejarah khususnya sejarah perkembangan Islam di Semarang,” terang Iswar.
Keberadaan petilasan tersebut dapat menguatkan visi misi sekolah sebagai Sekolah Duta Wisata. Menurutnya, dukungan dari Dinas Pendidikan juga perlu untuk membantu penelusuran cerita lewat para ahli sejarah maupun literasi lainnya.