LenteraJateng, SEMARANG – Hak politik penyandang disabilitas tercantum dalam Pasal 13 UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Jaminan hak politik itu juga penting untuk mendapat fasilitas dari lembaga penyelenggara pemilihan umum (pemilu).
Hal itu diungkapkan oleh Fatimah Asri, Komisi Disabilitas Nasional, pada Rabu (23/3/2022). Aci, sapaan akrabnya, menyebut bahwa kesempatan penyandang juga sama seperti warga negara lainnya.
“Memilih dan dipilih dalam jabatan publik, menyalurkan aspirasi politik, memilih partai politik, menjadi peserta dalam pemilihan umum, bahkan mendapatkan pendidikan politik termasuk hak bagi penyandang disabilitas yang tercantum dalam undang-undang,” terang Aci.
Aci yang seorang penyandang tuna daksa itu menekankan bahwa pemerintah daerah berkewajiban untuk menjamin aksesibilitas dan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas. Bahkan, partisipasi sebagai penyelenggara pemilu sebenarnya terbuka luas bagi penyandang disabilitas.
“Pada Pemilu 2019 lalu, sebanyak 1.247.730 penyandang disabilitas ikut berpartisipasi memberikan suaranya. Padahal, jumlah pemilih penyandang disabilitas mencapai 22 juta, lebih dari 5 persen dari jumlah warga negara Indonesia. Artinya, pemilih disabilitas juga sumber kekuatan,” tegas dia.
Kelompok disabilitas, lanjut Aci, menjadi bagian penting dalam demokrasi. Demokrasi akan kehilangan esensinya karena ketika ada kelompok yang tidak bisa mengakses hak politiknya, karena hambatan-hambatan yang diciptakan konstruksi sosial seperti yang terjadi pada penyandang disabilitas. Mereka dianggap tidak bisa apa-apa, dianggap sebagai penerima manfaat dan tidak berkontribusi dalam pembangunan.
Bagaimana Memberikan Akses Politik Bagi Penyandang Disabilitas
Untuk memberikan fasilitas dan akomodasi politik bagi para penyandang disabilitas ini, Aci menyampaikan bahwa yang pertama adalah identifikasi masalah. Yaitu tentang implementasi kebijakan perlindungan dan politik bagi penyandang disabilitas.
“Perlunya pengarusutamaan perspektif HAM disabilitas dalam pemilu. Apakah penyelenggara di jajaran pemerintah daerah sudah memahami seperti apa kebutuhan kelayakan akomodasinya dalam proses pemungutan suara,” beber Aci.
Kedua, pentingnya membangun kesadaran politik dari para penyandang disabilitas. Satu suara saja, akan membuat perubahan bagi negara ini.
“Ketika organisasi disabilitas bisa menyuarakan aspirasi dan kursi khusus disabilitas, seperti kursi perempuan, kita juga harus mampu untuk mengisi jabatan publik. Tidak mustahil untuk kami, selama bisa dan layak,” lanjut Aci.
Aci menilai, masalah klasiknya adalah budaya malu orangtua yang kemudian menyembunyikan identitas anak mereka sebagai penyandang disabilitas sehingga tidak tercatat dalam dokumen resmi. Apabila tidak tercantum dalam surat resmi atau Kartu Keluarga, tentu tidak tercantum sebagai pemilih nantinya.
“Inilah akar masalahnya, soal stigma adanya anggapan cacat. Maka perlu kerjasama dari pemerintah daerah, penyelenggara pemilu, bahkan organisasi keagamaan untuk membongkar perspektif tersebut. Karena hambatan dari penyandang disabilitas sebetulnya dari lingkungan sekitarnya,” pungkas Aci.
Editor: Puthut Ami Luhur