LENTERAJATENG, JAKARTA – Para pegiat serukan segera revisi dan perbaikan Undang-Undang Pemilihan Umum (UU Pemilu), di tengah lambannya pembahasan dalam melakukan revisi dan perbaikan regulasi Kepemiluan di Indonesia.
Mereka yang terdiri dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), Themis Indonesia, Indonesia Corruption Watch (ICW), Network for Democracy and Electoral Integrity (NETGRIT) dan Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalan, melihat paket UU Pemilu sudah masuk dalam program legislasi nasional prioritas pada 2025 ini.
Para Pegiat Pemilu tersebut melihat revisi dan perbaikan tersebut bukanlah sekedar agenda teknis atau rutin lima tahunan pasca Pemilu, melainkan langkah penting dalam menata ulang serta memperkuat fondasi demokrasi elektoral di Indonesia.
Sejak diundangkan pada 2017 lalu, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menjadi dasar pelaksanaan konstentasi politik di Indonesia pada Pemilu 2019 dan 2024.
Tetapi dalam perhelatan dua Pemilu tersebut, dapat disaksikan bagaimana kelemahan sistem hokum berimplikasi pada kekacuan teknis, ketegangan antar lembanga, minimnya perlindungan atas hak politik warga negara dan bahkan menjadi pintu masuk korupsi politik.
Permasalahan yang terjadi bukanlah persoalan teknis prosedur semata, namun menyentuh pada kondisi demokrasi substansial kita hari ini sehingga penting untuk menjadikannya sebagai cermin reflektif atas kondisi demokrasi Indonesia.
Apakah demokrasi akan tumbuh sehat dan substansial, atau justru berjalan di tempat dalam bayang-bayang elite yang saling berebut kekuasaan.
Pentingnya Pembahasan Segera UU Pemilu, Bertaruh dengan Waktu
Dalam politik, waktu bukan sekadar penanda teknis, tetapi ruang yang penuh konsekuensi. Jika pembahasan revisi UU Pemilu kembali ditunda, besar kemungkinan kita akan terperosok kembali ke dalam situasi yang tidak menguntungkan, saat suhu politik sudah mulai memanas menjelang pemilu dan ruang deliberatif publik tersingkir oleh kepentingan pragmatis yang mendesak.
Dari Pemliu ke Pemilu, antara tanggal berlaku UU Pemilu yang digunakan sebagai regulasi pelaksanaan dengan jelang tahapan awal Pemilu waktunya sangat sempit. Para pegiat Pemilu membeberkan beberapa data, dari Pemilu ke Pemilu sejak reformasi sampai dengan Pemilu 2019, tanggal berlaku UU Pemilu dan jelang tahapan awal.
Pada Pemilu 1999, regulasi yang digunakan adalah UU Nomor 3 Tahun 1999 yang berlaku pada 1 Februari 1999 sedangkan tanggal awal tahapan Pemilu dilaksanakan pada 7 Juni 1999, sehingga praktis hanya ada jeda waktu lebih kurang empat bulan.
Kemudian lima tahun berikutnya, tepatnya pada Pemilu 2004, di mana menggunakan UU Nomor 12 Tahun 2003 sebagai aturan mainnya, di mana berlaku mulai 11 Maret 2003, sementara tanggal awal tahapan Pemilu pada 1 April 2003. Sehingga hanya menyisakan lebih kurang jeda satu bulan.
Pada Pemilu 2009, ketika aturan yang digunakan adalah UU Nomor 10 Tahun 2008 di mana mulai berlaku 31 Maret 2008, tanggal awal tahapan Pemiu pada 5 Juli 2008 atau lebih kurang tiga hanya jeda tiga bulan.
Kondisi tersebut tidak berubah, ketika penyelanggaraan Pemilu 2014 dilaksanakan di mana peraturan yang digunakan adalah UU Nomor 8 Tahun 2012 dan mulai berlaku pada 11 Mei 2012 sedangkan tanggal awal tahapan Pemilu pada 11 Agustus 2012, atau hanya jeda lebih kurang tiga bulan.
Terakhir, pada Pemilu 2019, aturan yang digunakan kembali berubah menjadi UU Nomor 7 Tahun 2017 di mana berlaku mulai 16 Agustus 2017 sedangkan tanggal awal tahapan Pemilu pada 3 September 2017 atau hanya menyisakan jeda lebih kurang sebulan.
Pola ini bukan hanya tidak ideal dari sisi teknis legislasi, tetapi juga mempersempit ruang partisipasi bermakna dari publik.
Tidak hanya itu, menurut mereka risiko kompromi elite dalam perumusan kebijakan yang berujung pada kepentingan elektoral semata juga semakin meningkat.
Revisi UU Pemilu yang sangat berhimpitan dengan waktu pelaksanaan tahapan pemilu akhirnya mengakibatkan proses pembahasan menjadi terburu-buru, sarat kompromi, serta minim ruang partisipasi substantif.
Ketika proses legislasi dilakukan dalam situasi yang demikian, para pegiat Pemilu menduga yang terjadi bukanlah penguatan sistem, melainkan penyelamatan kepentingan.
Belum lagi pembahasan revisi UU Pemilu sering menghasilkan pasal-pasal krusial yang lekat kaitannya dengan kepentingan elektoral peserta pemilu. Antara lain, seperti pilihan desain sistem Pemilu, besaran alokasi kursi per-daerah pemilihan, serta ambang batas pencalonan.
Dampaknya, pasal-pasal mengenai aspek manajemen dan penegakan hukum Pemilu misalnya, sering terabaikan atau mendapatkan porsi waktu yang terbatas.
Maka mereka berpendapat, pembahasan revisi UU Pemilu mendesak untuk dilakukan saat ini.
Semakin dekat dengan 2029 atau tahun politik, semakin sempit pula ruang bagi pembahasan menyeluruh dan mendalam.
Berkaca dari pengalaman Pemilu sebelumnya, revisi undang-undang yang dilakukan dalam waktu terlalu dekat dengan tahapan Pemilu justru melahirkan peraturan yang reaktif dan tidak deliberative atau tidak mempertimbangkan berbagai aspek atau dampak pada setiap pilihan.
Sering kali, perbaikan regulasi hanya menyentuh permukaan, tanpa sempat menjangkau akar persoalan.
Karenanya, penting untuk mendesak revisi UU Pemilu untuk diselesaikan paling lambat tahun 2025 agar menyisakan waktu yang cukup dalam hal penyesuaian sebagai dasar hukum pelaksanaan Pemilu 2029.
Membahas revisi sejak sekarang berarti memberi ruang bagi penyusunan norma yang matang dan partisipatif. Ini memberi kesempatan bagi publik, penyelenggara, akademisi dan masyarakat secara umum untuk terlibat dalam diskursus yang komprehensif untuk membentuk arah demokrasi ke depan.
Tidak kalah penting, ini juga memastikan bahwa penyelenggara pemilu memiliki cukup waktu untuk menyesuaikan kebijakan atau menyusun peraturan pelaksanaan dan sistem teknis pendukung terkait, serta, mensosialisasikannya, dan memperkuat kelembagaan internal.
Artinya, revisi ini bukan sekadar tentang efisiensi waktu, tetapi tentang menciptakan ekosistem politik yang sehat, deliberatif, dan bebas dari jebakan forum “sikut antar kepentingan.”
Enam Aspek Utama yang Perlu Diperhatikan
Melalui pengalaman penyelenggaraan, kajian yang mendalam, serta masukan substantif dari multi pihak, maka terdapat beberapa poin penting yang layak dijadikan fondasi pembahasan revisi.
Pertama, kodifikasi UU Pemilu menjadi kebutuhan mendesak. Menyatukan regulasi pemilu legislatif, presiden, dan kepala daerah dalam satu kerangka hukum akan menghindari konflik norma dan menyederhanakan pelaksanaan di lapangan. Ini bukan sekadar efisiensi administratif, melainkan upaya menciptakan hukum yang logis dan kohesif.
Kedua, pilkada langsung harus tetap dipertahankan. Ini adalah ruang partisipasi politik rakyat yang telah terbukti memperkuat kontrol warga atas pemerintahan lokal. Argumen soal tingginya biaya semestinya direspon dengan pembenahan sistem pendanaan politik dan pengawasan serta penegakan hukum, bukan dengan memangkas hak pilih warga.
Ketiga, partisipasi bermakna harus menjadi prinsip utama dalam penyusunan revisi. Publik bukan hanya penonton, tetapi aktor penting dalam menentukan arah dan isi undang-undang. DPR dan pemerintah harus membuka ruang seluas-luasnya untuk masukan dari berbagai pihak, serta menjamin transparansi dalam proses pembahasannya.
Keempat, manajemen pemilu dan mekanisme penegakan hukum perlu menjadi salah prioritas pembahasan selain aspek sistem pemilu. Pemilu tidak bisa lagi dibiarkan berjalan dengan logika darurat. Kepastian prosedur dan pembagian kewenangan antara KPU, Bawaslu, dan DKPP perlu dirumuskan ulang secara presisi.
Kelima, akuntabilitas dana politik harus diperkuat. Transparansi aliran dana kampanye, pelaporan keuangan partai, serta mekanisme sanksi terhadap pelanggaran harus diatur dengan lebih tegas dan adil.
Keenam, penyelenggaraan pemilu yang aman dan inklusif perlu menjadi prinsip utama dalam penyusunan revisi UU Pemilu. Ini penting untuk memastikan seluruh warga negara dapat menggunakan hak pilih dan hak dipilihnya tanpa hambatan, ancaman, atau diskriminasi. Masalah kekerasan, eksklusi, dan ketidaksetaraan harus diatasi melalui penguatan perlindungan, penyediaan akomodasi layak, serta jaminan hak pilih bagi kelompok rentan, sehingga tidak ada satu pihak pun yang tertinggal dalam demokrasi prosedural di Indonesia.
Kesimpulannya, para pegiat melihat bahwa revisi UU Pemilu adalah pekerjaan rumah yang tidak bisa ditunda. Pemerintah dan DPR harus segera mengambil langkah konkret:
- Memprioritaskan agenda pembahasan Revisi UU Pemilu pada tahun 2025;
- Mempertimbangkan metode kodifikasi dalam agenda revisi UU Pemilu dalam tujuan menciptakan hukum yang logis dan kohesif;
- Menjamin proses legislasi dilakukan tanpa bertentangan dengan konstitusi serta melibatkan partisipasi publik secara bermakna dalam setiap tahapannya.
Demokrasi Indonesia tidak bisa terus bergantung pada regulasi tambal sulam. membutuhkan sistem dan tata kelola pemilu yang adil, transparan, dan partisipatif. Untuk itu, waktu terbaik untuk bertindak adalah sekarang, atau sebelum semuanya terlambat.