LenteraJateng, SEMARANG – LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Semarang desak Pemprov Jawa Tengah mematuhi dan melaksanakan keputusan permohonan kasasi Muhammad Baihaqi di Mahkamah Agung (MA). Seorang penyandang disabilitas Muhammad Baihaqi mengikuti seleksi CPNS 2019 Provinsi Jawa Tengah tetapi digugurkan panitia seleksi.
Baihaqi dengan bantuan LBH Semarang, kemudian mengajukan gugatan tetapi kemudian PTUN Semarang menolak dengan alasan sudah kadaluarsa. Demikian juga upaya bandingnya di PTTUN Surabaya. Ia pun kemudian mengajukan kasasi dan MA mengabulkannya.
Tim Kuasa Hukum LBH Semarang Arif Syamsuddin menyatakan, putusan MA mengabulkan kasasi Baihaqi menunjukkan adanya praktik diskriminasi dalam seleksi CPNS 2019. Juga menunjukkan ia melanjutkan, Pemprov Jawa Tengah pada umumnya dan sekretaris daerah setempat khususnya, tidak profesional dan cacat prosedur dalam pelaksanaan rekrutmen.
“Kami mendesak Pemprov Jawa Tengah mencabut pengumuman yang tidak meloloskan Baihaqi dalam tahapan seleksi kemampuan dasar. Kemudian segera menerbitkan keputusan tata usaha negara yang meloloskan Baihaqi,” kata Arif kepada Lenterajatengcom, Selasa (21/12/2021).
LBH Semarang juga desak Pemprov Jawa Tengah untuk segera melakukan evaluasi seleksi CPNS yang adil, transparan dan tidak diskriminatif, demi reformasi birokrasi. Pihaknya juga meminta kepada MA untuk mengawasi pelaksanaan putusan kasasi.
“Tuntutan kami agar Pemprov Jawa Tengah segera menjalankan putusan. Kami tetap meminta PTUN maupun lembaga penegakan hukum bisa mengawasi terlaksananya putusan MA,” tuturnya.
Kronologis Kasus Baihaqi, LBH Semarang Desak Pemprov Jateng Patuhi Putusan Kasasi
MA mengabulkan pengajuan kasasi Baihaqi juga membuktikan bahwa putusan pada tingkat banding dan tingkat pertama, salah besar. PTUN Semarang maupun PTTUN Surabaya menolak gugatan Baihaqi, alasannya pengajuan telah melewati 90 hari sebagaimana dalam UU 5/1986 tentang PTUN.
Padahal, dalam Perma 6/2018 tersurat dengan jelas bahwa jangka waktu 90 hari tersebut sejak upaya administrasi dan berdasarkan hitungan hari kerja, bukan kalender. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa pemikiran formalistik mendominasi alam pikir majelis hakim. Sehingga menurut Arif akan sangat sulit mencapai keadilan yang substantif.
“Majelis hakim tingkat pertama dan tingkat banding sama sekali tidak menyentuh substansi gugatan. Padahal dalam proses sidang tingkat pertama, bukti-bukti dan keterangan saksi serta ahli telah menunjukkan adanya praktik diskriminasi tersebut,” pungkasnya.
Editor : Puthut Ami Luhur