LENTERAJATENG, PURWOREJO- Sekitar empat puluh perempuan Desa Wadas, Kabupaten Purworejo berjalan bersama-sama menuju lokasi tambang sambil membawa wayang-wayang kardus. Setelah tiba di lokasi tambang, perempuan tersebut berdiri di samping pohon-pohon besar dan melakukan doa bersama.
Tak lama kemudian hujan deras mengguyur tubuh mereka. Seakan tak terusik, mereka terus melanjutkan prosesi dengan melilitkan kain stagen yang telah berusia 90 tahun milik Rubiah ke pohon durian di tanah milik Ngatinah.
Prosesi kemudian berakhir dengan menaburkan bunga setaman di sekeliling pohon.
Tri Handayani perempuan Desa Wadas mengatakan semua prosesi tersebut merupakan rangkaian aksi untuk menolak rencana pemerintah menambang batu andesit di desanya.
“Kami ingin menunjukkan masih ada warga Desa Wadas yang masih konsisten menolak tambang batu andesit,” katanya, Jumat (6/1/2023).
Ia mengatakan dalam tradisi masyarakat Jawa, seorang ibu selalu mangku atau menjaga anaknya. Hal ini serupa dengan aksi kali ini mereka mangku atau menjaga bumi pertiwi di Wadas.
Pemerintah berencana menambang batu andesit di Wadas untuk materi pembangunan Bendungan Bener di Purworejo. Bendungan yang berada sekira 10 kilometer dari Desa Wadas ini adalah Proyek Strategis Nasional (PSN) untuk keperluan irigasi, pebangkit tenaga listrik, dan penunjang pariwisata.
Padahal, selama ini alam Wadas yang kaya telah memberikan kehidupan bagi warga Wadas. Walaupun pemerintah terus merayu warga untuk menjual tanahnya dengan harga tinggi, perempuan Wadas dan Gempadewa masih tetap kukuh menolak tambang.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa aksi ini juga jadi simbol pengharapan agar warga yang masih kukuh menolak tambang andesit senantiasa mendapat kekuatan dalam menjaga dan menjalankan nasihat, pelajaran, berkah, dan kekayaan spiritual yang diwariskan secara turun-temurun. Cara ini secara alamiah bisa menjaga kelestarian alam wadas.
Makna Simbol Aksi
Ia menjelaskan ada berbagai simbol dalam aksi tersebut. Wayang-wayang kardus berbentuk tikus sebagai lambang pejabat korup, pepohonan merupakan sumber penghidupan bagi warga wadas, penahan longsor, dan sarana untuk menyimpan air hujan ke dalam tanah.
Tak kalah penting, melilitkan kain stagen merupakan simbol bahwa pohon tersebut tidak untuk diserahkan untuk kepentingan tambang batu andesit.
Ia menilai kasus di Wadas adalah salah satu bentuk konflik agraria yang sudah berlangsung beberapa tahun. Konflik ini juga telah menyebabkan masyarakat desa terpecah.
Lebih lanjut, ia mengatakan lokasi tambang batu andesit seluas 114 hektar yang berada di kawasan perbukitan itu berpotensi menyebabkan bencana bagi warga. Pasalnya, selama ini kawasan Wadas dikenal sebagai daerah rawan longsor.
“Tambang andesit yang dilakukan dengan mengeruk tanah akan menyebabkan potensi longsor di Wadas makin tinggi. Bencana ini terutama mengintai wilayah Kaligendol dan Randuparang di Desa Wadas yang berbatasan langsung dengan lokasi tambang,” katanya
Ia juga mengingatkan kepada pemerintah perlu menghargai warga Wadas yang menolak melepaskan tanahnya menjadi lokasi tambang andesit. Bagi mereka, mempertahankan kelestarian lingkungan bagi kepentingan bersama adalah hak sekaligus kewajiban bagi warga negara yang mengerti nilai-nilai Pancasila.
“Mempertahankan tanah dan kelestarian alam adalah hak warga negara. Hak kami ini dilindungi konstitusi dan undang-undang,” tegasnya.
Talabudin, perwakilan dari Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (Gempadewa) menyatakan dukungannya terhadap aksi perempuan Wadas. Ia gembira karena masih ada warga Wadas yang konsisten mempertahankan ruang hidup untuk keselamatan seluruh warga desa.
“Kami berharap pemerintah mau mendengarkan aspirasi warga ini. Mempertahankan lingkungan dari kerusakan akibat tambang adalah untuk keberlangsungan hidup seluruh warga,” katanya