LENTERAJATENG, JAKARTA – Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan delapan tersangka baru, dalam kasus pemberian kredit kepada PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex).
Delapan tersangka, baik dari internal Sritex maupun dari luar perusahaan tersebut. Dari luar Sritex, tersangka merupakan mantan pejabat dari sejumlah bank daerah dan pemerintah.
“Pada hari ini penyidik berkesimpulan menetapkan delapan orang tersangka,” kata Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Nurcahyo Jungkung Madyo, saat konferensi pers di Gedung Bundar Kejagung, Jakarta, Senin (21/7/2025).
Tiga dari delapan tersangka yang telah ditetapkan oleh Kejagung, merupakan mantan petinggi di Bank Jateng.
Bank Jateng atau PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah, adalah bank milik Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Pemerintah Kabupaten/Kota se-Jawa Tengah. Jadi, pemilik Bank Jateng adalah pemerintah daerah di wilayah Jawa Tengah, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Status Bank Jateng merupakan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), yang didirikan untuk mendukung Pembangunan daerah dan meningkatkan kesejahteran masyarakat di Jawa Tengah.
Tiga orang tersangka yang merupakan mantan petinggi Bank jateng, Direktur Utama Bank Jateng 2014-2023 Supriyatno, Direktur Bisnis Korporasi dan Komersial Bank Jateng tahun 2019 Pujiono dan Kepala Bisnis Korporasi dan Komersial Bank Jateng 2018-2020 Suldiarta.
Peran Supriyatno dan Pujiono dalam kasus ini, keduanya tidak membentuk Komite Kebijakan Perkreditan atau Komite Kebijakan Pembiayaan (KKP) dan Komite Pembiayaan (KK) dalam pemberian kredit modal kerja rantai pasok (SCF) kepada Sritex.
Mereka juga menyetujui pemberian kredit kepada Sritex, walaupun mengetahui kewajiban perusahaan tekstil tersebut lebih besar dari aset yang dimiliki sehingga kredit tersebut beresiko.
Baik Supriyatno dan Pujiono, disebut juga menyetujui dan menandatangani usulan Memorandum Analisa Kredit (MAK) yang diajukan Sritex tanpa dilakukan verifikasi secara langsung terhadap kebenaran Laporan Keuangan Audited perusahaan tekstil tersebut 2016-2018.
Pujiono, bahkan disebut tidak melakukan evaluasi terkait keakuratan laporan keuangan yang disajikan oleh Analisis Kredit.
Sedangkan Suldiarta selaku Kepala Divisi Bisnis Korporasi dan Komersial Bank Jateng 2018-2020, disebut tidak memastikan terselenggaranya kegiatan operasional bank yang sesuai dengan manajemen risiko.
Suldiarta tidak melakukan Analis Kredit, melalui mekanisme Trade Checking.
Nurcahyo mengatakan, hal itu menyebabkan analis belum melakukan perhitungan repayment capacity atau kemampuan peminjam untuk memenuhi kewajiban pembayaran pinjaman, termasuk pokok dan bunga, sesuai jadwal yang telah disepakati.
Selain itu, Suldiarta menandatangani usulan MAK yang diajukan oleh Sritex tanpa melakukan verifikasi secara langsung terhadap kebenaran Laporan Keuangan Audited perusahaan tekstil tersebut pada 2016-2018.
Menurut Nurcahyo, verifikasi dilakukan hanya menggunakan analisa terhadap data-data yang disajikan dalam Laporan Keuangan tersebut.
Suldiarta juga tidak melakukan evaluasi terkait keakuratan laporan keuangan yang disajikan oleh Analisis Kredit. Serta, tidak menyusun analisa kredit atau penyediaan dana lainnya atas dasar data yang diterima dan diverifikasi serta diyakini kebenarannya.
Suldiarta, lantas menandatangani Surat Pemberitahuan Persetujuan Limit Supply Chain Financing Sritex. Menurut penyidik, kredit yang diberikan ini justru disalahgunakan oleh pihak Sritex untuk membayar utang ke pihak ketiga dan untuk pembelian aset nonproduktif.
Tersangka lainnya, Babay Farid Wazadi selaku Direktur Kredit UMKM merangkap Direktur Keuangan PT Bank DKI Jakarta tahun 2019–2022 dan Pramono Sigit selaku Direktur Teknologi dan Operasional PT Bank DKI Jakarta periode 2015–2021, merupakan pejabat pemegang kewenangan memutus kredit yang bertanggung jawab atas keputusan yang diambil terhadap suatu MAK (memorandum analisis kredit).
“Selaku direksi komite A2 (kewenangan kredit Rp75miliar–Rp150 miliar) tidak mempertimbangkan adanya kewajiban medium term note (MTN) Sritex pada BRl yang akan jatuh tempo,” tutur Nurcahyo.
Keduanya kata Nurcahyo, juga tidak meneliti pemberian kredit kepada Sritex sesuai dengan norma umum perbankan dan ketentuan bank.
Selain itu, kedua tersangka memutus pemberian kredit Sritex dengan fasilitas jaminan umum tanpa kebendaan walaupun perusahaan tersebut tidak termasuk dalam kategori debitur prima.
Kemudian, tersangka Yuddy Renaldi selaku Direktur Utama PT Bank BJB periode 2019–Maret 2025, merupakan komite kredit pemutus tingkat pertama.
Yuddy Renaldi selaku komite kata Nurcahyo, memutuskan untuk memberikan penambahan plafon kredit kepada Sritex hingga sebesar Rp 350 miliar.
Hal itu dilakukan Yuddy meskipun mengetahui dalam rapat komite kredit pengusul MAK, disampaikan bahwa Sritex dalam laporan keuangannya tidak mencantumkan kredit existing sebesar Rp 200 miliar.
Selanjutnya, tersangka Benny Riswandi selaku Senior Executive Vice President (SEVP) PT Bank BJB periode 2019–2023, merupakan Komite Kredit Kantor Pusat IV (KK-KP IV) yang memiliki kewenangan untuk memutus nilai kredit modal Rp 200 miliar.
Akan tetapi, ia tidak melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai komite kredit sesuai dengan prinsip 5C (character, capacity, capital, collateral, dan condition).
Tersangka Benny juga tidak pernah melakukan, evaluasi terkait keakuratan laporan keuangan yang disajikan oleh Analisis Kredit, Divisi Bisnis dan divisi Credit Risk maupun pimpinan Divisi Korporasi dan Komersial Bank BJB.
Selain itu, untuk pemberlakuan jaminan dengan clean basis atau tanpa jaminan fisik, keputusan Benny hanya didasarkan pada keyakinan Sritex telah go public selama tiga tahun dan laporan keuangan selalu baik.
Padahal, tersangka Benny mengetahui bahwa Sritex mengalami penurunan produksi dan penurunan ekspor serta peningkatan kewajiban karena memiliki kredit di beberapa bank sesuai yang tertera dalam SLIK OJK.
Adapun selain ketujuh tersangka tersebut, penyidik juga menetapkan satu tersangka baru lainnya, yaitu Allan Moran Severino selaku Direktur Keuangan Sritex periode 2006–2023.
Selaku Direktur Keuangan Sritex, Allan adalah pihak yang bertugas untuk memproses kredit kepada pihak bank.
Nurcahyo mengungkapkan, Allan adalah pihak yang menandatangani permohonan kredit pada Bank DKI dan memproses permohonan pencairan kredit dengan underlying berupa invoice fiktif. Kemudian, AMS disebut menggunakan kredit dari Bank DKI tidak sesuai peruntukan awal.
“Pengajuan kredit ini adalah modal kerja tetapi (AMS) menggunakan uang pencairan tersebut untuk melunasi hutang MTN atau medium term note,” kata Nurcahyo.
Menurut Nurcahyo, akibat pemberian kredit kepada Sritex tersebut negara mengalami kerugian mencapai Rp 1.08 triliun.
Jumlah tersebut didapat dari perhitungan pemberian kredit dari tiga bank, yakni Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah (Bank Jateng), Bank Pembangunan Daerah Banten dan Jawa Barat (Bank BJB), dan Bank DKI.
Dengan rincian, kredit dari Bank Jateng sebesar Rp 395.663.215.800; Bank BJB sebesar Rp 543.980.507.170; Bank DKI sebesar Rp 149.007.085.018,57.
Atas perbuatannya, para tersangka telah melanggar pasal 2 ayat 1 Atau pasal 3 juncto pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Untuk diketahui, Kejagung telah menetapkan tiga orang tersangka sebelumnya, yakni Komisaris Utama Sritex Iwan Setiawan Lukminto, Dicky Syahbandinata selaku pemimpin Divisi Korporasi dan Komersial PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten tahun 2020 dan Zainudin Mapa selaku Direktur Utama PT Bank DKI Jakarta tahun 2020.