LenteraJateng, CILACAP – Setiap Sapar dalam penanggalan Jawa, Warga Dayeuhluhur Cilacap selalu mengingat jejak sebagai masa di mana raja-raja Pasundan melakukan tetirah rohani. Jejak para Raja Pasundan yang melakukan tetirah rohani itu, melewati jalanan dusun tempat warga mukim.
Sebagai bentuk bakti mereka terhadap Raja Pasundan saat itu, warga membersihkan jalan desa sebagai persiapan menyambut iring-iringan raja. Warga juga membuat ketupat dengan cara menggantung pada sebuah tongkat melintang di perbatasan-perbatasan desa.
Ketupat tersebut warga sediakan sebagai bekal bagi iring-iringan raja yang lewat. Pada masa modern saat ini, kegiatan terus warga lestarikan. Setiap Rabu Wekasan saat Sapar penanggalan Jawa, pada pukul 06.00 waktu setempat, warga berkumpul di batas desa. Mereka membawa ketupat yang sajikan di sebuah tiang melintang, sama seperti nenek moyang mereka lakukan.
Nantinya, siapa pun yang melewati jalanan tersebut bebas mengambil ketupat. Sebelum ritual, sesepuh desa merapal riwayat tentang tetirah para Raja Pasundan dengan menggunakan Bahasa Sunda, lengkap beserta sesajen dan bebakaran dupa.
Ketua Lembaga Adat Desa Hanum Ceceng Rusmana mengatakan, ada berbagai versi terkait sejarah Sidekah Kupat. Satu di antaranya adalah peristiwa yang terkait dengan sejarah Raja-raja Pasundan dan era Kerajaan Mataram, baik Kuno atau Islam.
Ia menyebut, Mataram (Jateng) merupakan tempat berziarah bagi Raja-raja Pasundan di mana banyak bangunan rohani, Candi-candi dan berkembangnya syiar Islam. Sedangkan, wilayah Dayeuhluhur Cilacap sebagai jalur darat kuno, dari tatar Pasundan ke Mataram.
Sidekah Kupat yang berarti Sedekah Ketupat, helat pada Rabu terakhir (Rebo Wekasan) setiap Sapar. Menurut tutur tinular warga Desa Datar, Hanum dan Bingkeng, ritual tersebut telah berumur 494 tahun.
Wilayah Dayeuhluhur Jalur Darat Kuna, Jejak Tetirah Rohani Raja Pasundan
“Dulunya di sini, percaya sebagai jalur darat kuna, sebelum adanya Jalan Daendels,” kata Ceceng.
Pada waktu zaman Mataram Kuna banyak Raja Pasundan yang berziarah ke Candi Dieng atau Prambanan melewati wilayah Dayeuhluhur. Begitu pula saat Mataram Islam, banyak yang ziarah. Saat itu, jika melewati utara atau selatan banyak rawa-rawa sehingga susah melaluinya.
Ia bercerita, saat para raja berziarah membawa rombongan cukup besar. Mulai dari prajurit hingga para petinggi kerajaan.
“Yang warga kampung lain bisa mengambil ketupat itu. Sedangkan, warga desa setempat membawa bekal ketupat dan makan bersama-sama di perbatasan desa,” tuturnya.
Usulkan Warisan Budaya
Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jateng mengapresiasi ritual Sidekah Kupat. Hal itu wujudkan dengan dukungan adat ini untuk dapat usulkan sebagai Warisan Budaya tak benda (WBTB).
Kabid Pembinaan Kebudayaan Disdikbud Jateng Eris Yunianto mengatakan, berdasarkan catatan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dari sekitar 726 karya budaya asal Jateng baru 103 yang tercatat dan tetapkan sebagai WBTB. Maka, upaya pendokumentasian dan membumikan ritual kuna ini, agar dapat terakui sebagai Intangible Heritage.
Sidekah Kupat tidak saja soal pelestarian budaya. Jika serius menggarapnya, ritual ini bisa menambah pundi-pundi ekonomi warga, lewat atraksi wisata.
Pada 2022, Pemprov Jateng bekerja sama dengan Pemkab Cilacap, turut memeriahkan Sidekah Kupat dengan menggelar Festival Budaya. Selain karena pandemi Covid-19 telah mereda, juga harapkan menggeliatkan perekonomian warga setempat.
“Gotong royong bersama dari semua pemangku kebijakan, termasuk perekonomian perlu bicara. Dari pemprov memberikan triger, berharap bisa menjadi spirit. Berharap seperti Dieng Culture Festival (DCF) itu sudah 13 tahun. Ini baru sekali tentu butuh pondasi elementer, yakni masyarakat. Nantinya kemajuan itu juga akan masyarakat nikmati,” tuturnya.