LENTERAJATENG, SEMARANG – Di penghujung tahun 2022, sebuah festival dengan tajuk Memaknai Masa Merayakan Bentang Alam, diselenggarakan di Kota Semarang. Bernama Festival Kaladesa, dua latar belakang tempat yang berbeda dipilih sebagai venue acara.
Berbagai pertunjukan seni yang ditampilkan dan dikemas dengan suasana yang kental kedaerahan. Ada belasan pengisi acara baik individu maupun komunitas sebagai berasal dari daerah sekitar.
Lima orang wanita paruh baya memainkan alu dan lesung dengan iramanya yang bertalu-talu. Suara khas kayu yang berdengung, menghibur para penonton yang datang ke Omah Alas Kandri.
Para wanita ini adalah pengisi acara pada rangkaian Festival Kaladesa sesi ke dua di Desa Wisata Kandri, Gunungpati, Kota Semarang.
Alu dan lesung sengaja ditempatkan sebagai rangkaian pembuka. Mengingat kuatnya sektor agraris di masyarakat Nusantara.
Acara berikutnya adalah diskusi kebudayaan bersama sejarawan Kota Semarang Rukardi Achmad dan seorang filolog atau ahli naskah lama Rendra Agusta. Diskusi dipandu oleh seorang antropolog Akhriyadi Sofian.
Secara kebetulan, para penonton diskusi didominasi anak-anak yang sedang libur sekolah. Hal ini sekaligus sebagai penetrasi literasi kebudayaan sejak dini kepada mereka.
Watu Tugu
Sebelumnya, di sesi pagi, Festival Kaladesa mengambil tempat di Situs Watu Tugu, Kecamatan Tugu, Semarang. Rangkaian acara dibuka dengan pembacaan manuskrip Pujangga Manik dan penanaman pohon lontar di sekitar situs.
Pemilihan lokasi di Watu Tugu, lantaran tempat ini adalah tepian pantai purba Semarang di masa lampu. Watu Tugu yang kini ada di atas bukit, dulunya merupakan tempat bersandar kapal yang berlabuh ke Semarang.
Sedangkan pembacaan manuskrip Pujangga Manik menitikberatkan bahwa di catatan itulah lokasi yang sekarang adalah Kota Semarang masa kini digambarkan dan dinamai Padanara.
Penggagas Festival Kaladesa, Tri Subekso menyampaikan, konsep Kaladesa merupakan satu kesatuan antara segara atau laut dan gunung. Kaladesa, ungkapnya, mencoba membingkai fenomena yang terjadi di gunung kemudian berpengaruh dengan laut, begitupun sebaliknya.
“Dengan ini kita bisa memaknai masa dimana kita berada dan makin tumbuhnya kesadaran untuk kita memperlakukan alam ini dengan lebih bijaksana. Lebih membangun keharmonisan antara manusia dengan lingkungannya,” kata Tri, Jumat (30/12/2022).
Apalagi, lanjutnya, pembangunan yang sangat masif saat ini tak jarang menyebabkan perubahan landscape, berkurangnya sumber air dan sebagainya.
“Harapannya dengan kita mengadakan Festival Kaladesa ini bisa menyadarkan kembali bahwa sebenarnya kita ini bagian dari alam. Agar kita sadar untuk tidak semena mena memperlakukan alam dengan tidak bertanggungjawab,” beber Tri.
Untuk penyelenggaran Festival Kaladesa, ia tak sendirian. Tri bersama Komunitas Salunding yang sejak tahun 2011 rutin melakukan pendampingan dan mendorong desa untuk melaksanakan kegiatan baik festival maupun yang bertema kebudayaan.
“Kami fokus untuk aktivasi ruang seperti desa-desa maupun situs. Demi kemajuan masyarakat di lokasi tersebut,” imbuhnya.
Potensi Budaya, Memaknai Masa Merayakan Bentang Alam
Sementara, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang Wing Wiyarso menambahkan, Pemerintah Kota Semarang sangat mengapresiasi kegiatan Festival Kaladesa.
“Kami berharap kegiatan ini tidak berhenti sampai disini saja. Bisa semakin ditingkatkan karena ini adalah potensi budaya yang sangat adi luhur,” tandasnya.
Menurut Wing, kegiatan Festival Kaladesa bisa membantu pemerintah kota untuk membuat atau menciptakan destinasi wisata baru dengan memanfaatkan potensi yang ada.