LenteraJateng, TEMANGGUNG – Di Kabupaten Temanggung, terdapat eks stasiun Parakan yang dibangun pada tahun 1901. Stasiun tua ini menurut cerita menjadi saksi bisu sejarah perjuangan pertempuran 10 November di Surabaya.
Berfungsi sebagai angkutan penumpang, stasiun tersebut juga membawa hasil komoditas pertanian yang ada di sekitar Parakan. Mengingat daerah lereng gunung di sekitar Temanggung merupakan penghasil tembakau, kopi, rempah-rempah dan hasil bumi lainnya.
Bangunan yang kini masih kokoh berdiri itu kini tertutup. Terdapat papan penanda aset yang menerangkan bahwa stasiun ini dikelola oleh PT Kereta Api Daerah Operasional 6 yang berada di Yogyakarta.
Sejak mulai dibangun, stasiun yang dioperasikan oleh maskapai NIS ini mulai beroperasi tahun 1907 hingga 1973 dengan rute Parakan – Magelang.
Tim LenteraJateng berkesempatan untuk berbincang dengan Ketua Pusat Informasi Pariwisata Parakan (Pippa), Bayu Sanjaya. Ia menuturkan, sebagian besar ornamen bangunan stasiun Parakan masih terjaga keasliannya.
“Dari lantai, pompa, tiang, sama gentengnya masih orisinil. Untuk cat di bagian bawah itu nggak, tapi kalau yang di atas, warnanya agak coklat itu masih asli,” kata Bayu.
Meski tidak terlalu besar, eks stasiun Parakan memiliki area yang cukup lengkap. Di sisi barat merupakan lokasi masuk, kemudian loket untuk pembelian tiket. Bahkan terdapat gudang logistik kereta api dan bengkel perbaikan di sisi utaranya.
“Ada kantor, ada peron, peron VIP juga ada buat ngopi, dan baca koran, ada di belakang. Dulu keretanya kecil banget. Ada tiga jalur tapi jadi satu, cuma buat bolak balik saja,” lanjutnya.
Sebagai stasiun terakhir, rencananya akan terhubung rute menuju Wonosobo. Namun, lantaran terjadi krisis di Eropa tahun 1930, penambahan rute urung dilaksanakan.
Ribuan Orang Bawa Bambu Runcing, Eks Stasiun Parakan Saksi Bisu
Di tahun 1945, sempat terjadi gejolak perang kemerdekaan di sejumlah daerah. Stasiun Parakan turut menjadi saksi bisu perjuangan kemerdekaan RI di masa itu.
Banyak orang berbondong-bondong datang ke Parakan melalui stasiun tersebut dengan membawa sebilah ‘granggang’ atau bambu runcing. Bambu runcing itu konon minta disepuhkan atau didoakan oleh seorang ulama setempat yang bernama Kiai Subkhi.
Kiai Subkhi yang merupakan murid dari KH Hasyim Asy’ari dipercayai memiliki karomah. Dari cerita yang Tim LenteraJateng himpun, Kiai Subkhi pernah menyembuhkan istri Hasyim Asy’ari yang saat itu mengalami lumpuh kaki. Kemampuan itulah yang kemudian membuat Kiai Subkhi menjadi dikenal memiliki berkah untuk mendoakan.
Saat itu sekitar 10 ribu orang dengan membawa sebilah bambu runcing sempat memenuhi sekitaran stasiun Parakan untuk menemui Kiai Subkhi. Para pejuang yang merupakan santri itu datang dari wilayah Jawa Timur.
Bambu runcing yang telah disepuhkan inilah yang digunakan oleh para pejuang kemerdekaan pada pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Para pejuang ini percaya dengan bambu yang telah ‘diisi’ oleh Kiai Subkhi dapat mendatangkan kemenangan untuk melawan penjajah.