LENTERAJATENG, SEMARANG – DPRD Kota Semarang menegaskan, mengawal perlindungan remaja dari dampak negatif media sosial. Wakil Ketua DPRD Kota Semarang Dyah Tunjung P menyoroti, tingginya paparan gadget di kalangan anak-anak.
Menurut Tunjung, fenomena paparan gadget di kalangan anak-anak sudah menjalar sampai ke taman kanak-kanak.
“Anak TK saja sudah terpapar gadget, bahkan ada yang sudah membuat konten TikTok. Kami dorong adanya regulasi, termasuk peraturan daerah untuk melindungi anak dari konten yang tidak bertanggung jawab,” katanya dalam Dialog Interaktif bertema “Remaja dan Media Sosial antara Kreativitas dan Toxic Konten”, Kamis (25/9/2025).
sekaligus menyambut peringatan Hari Kesehatan Mental pada Oktober mendatang.
Tunjung menambahkan, DPRD Kota Semarang bersama dinas terkait telah aktif memberikan edukasi kepada orang tua dan guru tentang bahaya perundungan maupun siber bullying.
Ia menilai, masih banyak orang tua yang tidak menyadari ketika anaknya menjadi korban atau bahkan pelaku.
“Program Pemkot sudah cukup bagus, misalnya dengan adanya Rumah Duta Revolusi Mental yang memberikan layanan psikolog gratis. Kami di legislatif, memastikan fungsi pengawasan berjalan agar guru, orang tua, dan anak-anak sama-sama siap menghadapi perkembangan media sosial,” tuturnya.
Melalui dialog ini, DPRD Kota Semarang menegaskan posisinya sebagai pengawal kebijakan sekaligus mitra pengawasan, agar program pemerintah benar-benar mampu melindungi generasi muda dari dampak buruk media sosial.
Kepala Dinas Pendidikan Kota Semarang Bambang Pramusinto menegaskan, media sosial ibarat pisau bermata dua. Satu sisi bermanfaat sebagai sarana pembelajaran, namun di sisi lain rawan menyajikan konten berbahaya.
“Karena itu, kami mendorong literasi digital di sekolah-sekolah, mulai dari digital skill, digital etik, hingga digital culture. Misalnya, bagaimana menggunakan media sosial dengan sopan, sesuai kearifan lokal seperti tepo seliro dan unggah-ungguh,” tuturnya.
Sementara itu, praktisi media dan komunikasi Muhammad Adib Ishlahudin menyebutkan, rata-rata remaja usia 13–19 tahun di Indonesia menghabiskan sekitar empat jam per hari dengan gadget.
“Kalau waktunya dipakai untuk hal produktif seperti membuat konten kreatif atau kampanye sosial, itu ideal. Tapi kalau hanya untuk flexing, FOMO, atau mengakses konten toxic, itu berbahaya,” ujarnya.
Adib menilai, di Kota Semarang mulai tumbuh banyak inisiatif positif dari kalangan remaja dan sekolah, seperti workshop konten kreator hingga kampanye ramah lingkungan yang dipublikasikan lewat media sosial.