LenteraJateng, JAKARTA – Perekrutan dan penempatan Anak Buah Kapal (ABK) Indonesia di kapal ikan asing masih dalam kondisi yang carut marut. Mengingat ABK adalah bagian dari rantai industri perikanan global, ratifikasi Konvensi ILO 188 akan sarat dengan kepentingan bisnis.
ILO No 188 ini berisi tentang Pekerjaan Dalam Penangkapan Ikan atau Work in Fishing Convention. Ratifikasi ini perlu sebagai upaya meningkatkan pelindungan awak kapal perikanan Indonesia (AKPI) baik di dalam dan luar negeri.
Mengingat, terdapat puluhan ribu anak bangsa yang menjadi ABK di kapal ikan asing. Mereka berada di bawah bayang-bayang ancaman praktik kerja paksa dan perdagangan manusia.
Juru kampanye Environmental Justice Foundation (EJF) Azizah Hapsari tak menampik bahwa perumusan peta jalan menuju ratifikasi Konvensi ILO 188 ini akan sarat dengan kepentingan bisnis.
“ABK adalah ujung tombak rantai industri perikanan global yang bernilai ratusan juta dolar dan terus bertambah tiap tahun. Namun, mereka pihak yang paling tidak diuntungkan dalam bisnis ini,” tutur Azizah Hapsari, pada Rabu (18/5/2022).
Sebagai negara pengirim ABK terbesar di dunia, lanjut Azizah, langkah Indonesia dengan meratifikasi Konvensi ILO 188 akan menjadi panutan negara tetangga. Mereka dapat mengambil langkah serupa, sekaligus sebagai desakan untuk memperketat perlindungan ABK migran.
Peta Jalan yang Jelas Menuju Ratifikasi ILO 188, Carut Marut Perekrutan ABK
Senada, aktivis HAM dari HRWG (Human Rights Working Group) Daniel Awigra menyebutkan perlu ada peta jalan yang jelas menuju ratifikasi ini. Peta jalan ini juga perlu mempertimbangkan suara dari berbagai pemangku kepentingan.
Masukan dari perwakilan sejumlah kementerian, serikat buruh dan organisasi masyarakat sipil juga menjadi pertimbangan bersama. Termasuk asosiasi atau pelaku bisnis sektor perikanan, perusahaan perekrutan dan penempatan ABK, maupun lembaga internasional seperti PBB dan ASEAN.
“Pelibatan dan partisipasi ABK dan serikat buruh dalam perumusan peta jalan ini menjadi kunci pembuka bagi jalan pelindungan mereka. Kemudian dokumen ini akan jadi rujukan dan komitmen politik untuk mengakhiri praktik kerja paksa dan perbudakan modern di laut,” tutup Daniel.