LenteraJateng, SEMARANG – Sebuah tugu berwarna putih berdiri tegak di sebuah pertigaan di ujung Jalan Gambiran, kawasan Pecinan, Kota Semarang.
Tugu Gambiran, kemudian warga setempat menyebutnya, masih kokoh menjulang di tengah gempuran pembangunan yang seringkali merobohkan bangunan yang ada di tengah jalan.
Tugu reklame ini berada di pertigaan jalan, pertemuan Jalan Gambiran dan Gang Pinggir. Lokasinya persis berada di samping kelenteng Tek Hay Bio.
Jauh sebelum masyarakat terbiasa menggunakan internet, penyebaran informasi masif melalui surat kabar dan maupun tugu reklame atau reclame kiosk. Media reclame kiosk itu ternyata kini hanya tersisa satu di Kota Semarang.
Pengamat sejarah Kota Semarang, Rukardi menjelaskan, tugu tersebut merupakan tempat untuk melihat reklame atau iklan. Meski surat kabar sudah ada, namun tidak semua orang membacanya.
“Maka kemudian ada media yang lain, reclame kiosk itu. Yang tempatkan di tempat-tempat strategis. Semacam baliho kalau sekarang,” kata Rukardi.
Orang-orang yang berlalu lalang kemudian akan melihat reclame kiosk tersebut. Informasi yang tertera bisa dari pemerintah maupun iklan produk atau advertensie.
Informasi biasanya akan tertempel menggunakan kertas. Reclame kiosk yang bentuknya bulat seperti batang, maka masyarakat bisa melihatnya dari segala sisi.
“Bisa sambil jalan lalu menengok. Ada informasi apa sih yang sedang dipasang di tempat itu. Karena dulu pengumuman ditempel melingkar di tugu itu,” jelasnya.
Jika melihat foto-foto lama, lanjut Sukardi, reclame kiosk juga berada di samping gereja Imanuel atau Gereja Blenduk. Mengingat taman Sri Gunting atau dulunya adalah Parade Plein, merupakan tempat terbuka.
“Ada juga di Wilhelmina Plein, sekarang Tugu Muda. Ya di ruang-ruang terbuka gitu, biasanya di lapangan atau pertigaan,” bebernya.
Layak Sebagai Cagar Budaya, Tugu Reklame di Ujung Jalan Gambiran
Menurut Rukardi, reclame kiosk seharusnya layak sebagai benda cagar budaya. Karena bangunan tersebut salah peninggalan lama yang sudah memenuhi syarat cagar budaya.
“Ada tiga syarat, usianya minimal lima puluh tahun, mewakili gaya pada zamannya, dan punya nilai penting bagi sejarah dan pendidikan,” imbuhnya.
Dari tiga kategori tersebut, reclame kiosk di ujung jalan Gambiran telah memenuhi kriteria yang Rukardi sebutkan. Terlebih, tugu itu tinggal satu-satunya di Kota Semarang.
“Kalau ini tidak kita selamatkan, ingatan orang terhadap bangunan cagar budaya ini akan hilang. Hanya tahu dari foto-foto. Tapi tidak pernah tahu bentuk aslinya,” terangnya.
Rentan Hilang
Reclame kiosk ini rentan dihilangkan karena posisi bangunannya berada di pinggir atau tengah jalan. Di era sekarang yang lalu lintasnya semakin padat, tentu perlu melakukan pelebaran jalan.
“Jadi kalau ada pelebaran jalan, normalisasi jalan, biasanya akan dikorbankan karena dianggap mengganggu. Karena pada masa setting kota jaman dulu dan sekarang kan berbeda, dulu kan isinya delman, kuda, sepeda atau gerobak,” jelas Rukardi.
Sementara, warga yang tinggal di sekitar reclame kiosk itu membenarkan bahwa tugu tersebut merupakan peninggalan yang bersejarah. Sebab, sejak keluarganya tinggal di daerah tersebut di tahun 1927, reclame kiosk sudah ada disana.
“Tentu harus dilestarikan. Kalau bisa pasang patung Gus Dur untuk menghormati beliau sebagai bapak Tionghoa Indonesia,” kata Salim (75).