LENTERAJATENG, SEMARANG – Anggota Komisi D DPRD Kota Semarang dari Fraksi PKS Siti Roika menegaskan, hak-hak pekerja tidak boleh diabaikan dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dialami puluhan pekerja perusahaan sablon plastik milik Heri Susanto.
Penegasan tersebut disampaikan Siti Roika usai menerima audiensi para pekerja bersama Komisi D DPRD Kota Semarang di Gedung DPRD, Kamis (11/12/2025). Dalam pertemuan itu, para pekerja menyampaikan berbagai persoalan ketenagakerjaan dan meminta DPRD mengawal penyelesaiannya secara kelembagaan.
“Saya sangat prihatin. Ada pekerja yang bertahun-tahun tidak mendapatkan kepastian atas hak normatifnya. DPRD, khususnya Komisi D, berkomitmen mendorong penyelesaian yang adil dan sesuai aturan hukum,” kata Siti Roika, yang akrab disapa Ika.
Berdasarkan paparan yang diterima DPRD Kota Semarang, terdapat dua kasus perselisihan hubungan industrial yang melibatkan total 77 pekerja.
Kasus pertama terjadi pada periode Maret hingga Juli 2025, ketika 40 pekerja mengadukan persoalan stagnasi upah sejak 2021, pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR) yang tidak penuh, serta sistem kerja yang semakin tidak menentu.
Proses mediasi yang difasilitasi Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) menghasilkan, anjuran agar perusahaan menyesuaikan upah sesuai UMK dan membayarkan seluruh hak pekerja.
Namun hingga batas waktu yang ditentukan, baik pihak perusahaan maupun pekerja tidak memberikan tanggapan terhadap anjuran tersebut, sehingga secara hukum dianggap menolak.
Sementara itu, kasus kedua melibatkan 37 pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) setelah perusahaan menyatakan berhenti beroperasi per 1 Oktober 2025, menyusul meninggalnya pemilik perusahaan, Heri Susanto.
Para pekerja menuntut pembayaran pesangon sesuai ketentuan, mengingat sebagian besar memiliki masa kerja hingga puluhan tahun.
Disnaker menilai penutupan perusahaan tidak dapat dibuktikan sebagai akibat kerugian selama dua tahun berturut-turut. Oleh karena itu, PHK harus disertai pembayaran pesangon penuh sesuai UMK 2025.
Dalam anjuran Disnaker yang terbit pada 25 November 2025, perusahaan diwajibkan membayar pesangon dan hak lainnya dengan total nilai mencapai Rp 2,4 miliar untuk 37 pekerja.
Hingga 11 Desember 2025, belum ada tanggapan dari kedua belah pihak, sehingga kasus dinyatakan masuk tahap penyusunan risalah.
Ika menegaskan, DPRD Kota Semarang akan mendorong penyelesaian kasus ini melalui mekanisme kelembagaan sesuai Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
“Karena laporan sebelumnya disampaikan secara perorangan, kami akan menindaklanjuti melalui jalur kelembagaan agar perlindungan hukum bagi para pekerja lebih kuat,” tuturnya.
Ia juga menekankan, ketiadaan surat perjanjian kerja (SPK) tertulis tidak serta-merta menghapus hubungan kerja maupun hak-hak pekerja.
“Selama unsur pekerjaan, upah, dan perintah kerja terpenuhi, hubungan kerja tetap sah secara hukum. Tidak adanya SPK tidak boleh dijadikan alasan untuk mengabaikan hak buruh,” tutur Ika.
Ika memastikan, Komisi D DPRD Kota Semarang akan terus mengawal proses penyelesaian hingga tercapai solusi yang adil dan memberikan kepastian hukum bagi seluruh pekerja yang terdampak.