LENTERAJATENG, UNGARAN – Suasana sunyi nan sepi terasa saat memasuki sebuah bangunan vihara yang berada di Desa Susukan, Ungaran, Kabupaten Semarang. Tempatnya yang jauh dari hiruk pikuk keramaian kota, menambah khusyuk momen sembahyang.
Vihara yang bercat kuning dan merah nampak menjulang di puncak gunung. Di tempat ini pula terdapat patung Dewi Kwan Im setinggi tujuh meter.
Saat tim LENTERAJATENG pertama kali datang, tampak ratusan anak tangga menuju ke atas vihara.
Vihara bernama Avalokitesvara Sri Kukus Redjo berada di ketinggian 472 meter di atas permukaan laut (mdpl). Lokasinya yang berada di Gunung Kalong tempat ini juga akrab dikenal dengan nama Vihara Gunung Kalong.
Hendro, officer Vihara Gunung Kalong menuturkan, vihara ini dibangun pada tahun 1965. Awalnya, bangunan masih berupa gubug bambu yang beratapkan ijuk.
Seiring berjalannya waktu, perbaikan vihara dilakukan bahkan juga hasil sumbangan umat yang sembahyang di Vihara Gunung Kalong.
“Beberapa tempat ini sedang dalam perbaikan. Juga ada lift yang nantinya dipakai untuk naik turun ke atas vihara,” kata dia kepada LENTERAJATENG, Minggu (22/1/2023).
Hendro melanjutkan, para umat yang datang sembahyang berasal dari berbagai daerah. Bahkan banyak yang berasal dari luar Semarang.
“Ada dari Kalimantan, Sumatera, juga Sulawesi. Ini baru saja ada dari Singkawang. Dari umat yang ada di Ungaran tidak lebih dari lima persen, ” ungkapnya.
Umat dari luar kota tersebut mayoritas mengetahui vihara ini dari tutur cerita mulut ke mulut atau getuk tular. Suasana yang adem dan sejuk membuat vihara yang satu ini, menurut Hendro, membuat kesan tersendiri bagi yang melakukan sembahyang.
Beragam Umat, Sunyi Sepi di Vihara Gunung Kalong
Meski vihara identik dengan tempat ibadah umat Buddha, namun umat agama lainnya juga melakukan ibadah di Vihara Gunung Kalong.
Terlihat dari ornamen berwarna merah dan sejumlah lilin terpasang di momen tahun baru China atau Imlek 2023.
Namun, untuk tahun ini perayaan Imlek tidak dilakukan perayaan besar seperti tahun-tahun sebelumnya layaknya sebelum pandemi. Hanya terdapat rangkaian kegiatan seperti bersih-bersih vihara, Sincia, Pe Kong Turun, Kheng Thi Kong, dan Cap Go Meh di tanggal 4 Februari nanti.
“Kita dari awal pandemi kemarin hingga sekarang masih belum berani menyelenggarakan perayaan besar seperti tahun-tahun yang lalu. Dan kami juga belum siap, ” jelasnya.
Akulturasi Keagamaan
Terpisah, Tim Ahli Cagar Budaya Disdikbudpora Kabupaten Semarang, Tri Subekso menambahkan keberadaan vihara ini dikenal dengan nama Tridharma. Yakni sebuah naungan dari tiga agama etnis China meliputi Buddha, Taoisme, dan Konghucu dalam rangka melangsungkan eksistensinya di Indonesia.
“Pada masa Orde Baru, banyak unsur terkait etnis Tionghoa menjadi ditabukan. Saat itu agama Konghucu belum diakui, oleh karenanya rumah ibadahnya menginduk ke bangunan vihara umat Buddha. Secara resmi mereka menggunakan nama vihara karena dulu diwajibkan oleh Orde Baru,” bebernya.
Tri melanjutkan, kaitan Gunung Kalong sendiri sangat menarik. Hal ini karena di lokasi tersebut juga terdapat dua unsur budaya.
“Ada dua unsur budaya, yakni Jawa karena makam muslim yang dipercaya sebagai makam Ki Mandung dan Vihara Gunung Kalong dari Tionghoa Konghucu. Keduanya sama-sama disakralkan oleh masyarakat,” pungkas Tri.
Menurut Tri, sosok Ki Mandung dikenal melalui cerita yang diwariskan turun-temurun. Ki Mandung dihubungkan dengan Ki Ageng Pandanaran dan dipercaya dahulunya merupakan tokoh penyebar agama Islam di kawasan Ungaran.