LENTERAJATENG, SEMARANG- Lie Eng Hok merupakan salah satu pahlawan nasional peranakan Tionghoa yang tercatat pernah tinggal di Semarang pada tahun 1926. Lie bukanlah penduduk asli Semarang dan alasan kepindahannnya ke Semarang tak lain karena Pemerintah Kolonial Hindia Belanda tengah mencarinya.
Pasalnya sekitar tahun 1926, ada dugaan bahwa Lie terlibat dalam pemberontakan terjadi di daerah Banten dan Sumatra Barat yang saat itu sedang panas-panasnya.
Keaktifan Lie dalam pergerakan tak terlepas perannya pada masa muda di mana ia sempat bekerja sebagai wartawan Sin Po, surat kabar peranakan Tionghoa berbahasa Melayu. Di tempat tersebut, Lie berteman baik dengan temannya sesama wartawan sekaligus pencipta Indonesia Raya, W.R. Supratman.
“Dari temannya ini ia belajar banayak tentang cita-cita kebangsaan, sesuatu yang jarang dilakukan oleh pemuda keturunan Tionghoa waktu itu, “ tulis Yunus Yahya dalam Peranakan idealis: dari Lie Eng Hok sampai Teguh Karya.
Ketika Lie kabur ke Semarang. Ia memutuskan bekerja dengan menjual usaha toko buku loak di Pasar Johar. Meski begitu, Lie tak lantas meninggalkan dunia pergerakan.
Dari pekerjaan menjual buku loak inilah Lie justru memperoleh banyak teman dan informasi tentang dunia pergerakan. Dari situ Lie berperan aktif menyebarluaskan informasinya ke sesama teman pergerakannya.
Tak jarang juga Lie berperan sebagai kurir bagi kawan seperjuangannya di daerah Jawa Tengah yang hendak mengirim surat kepada sesama orang pergerakan di Semarang. Lie pun sampai mencarikan penginapan yang aman bagi teman pergerakan ketika mereka tengah mengadakan rapat di Semarang.
“Memang Lie Eng Hok sering ikut rapat membicarakan masalah politik,” ujar Kaspin teman Lie yang menjabat sebagai Ketua Perintis Kemerdekaan Cabang Semarnag dan Koordinator Jawa Tengah, seperti dikutip Yunus Yahya.
Sayang gerak Lie tak lama ketahuan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Alhasil ia tertangkap basah saat hendak menyampaikan surat titipan yang ia selipkan di dalam buku tuanya.
Akibatnya, Lie bersama tahanan lainnya mendekam di konsentrasi tahanan politik Boven Digoel.
Alasan Penangakapan
Surat Kabar De Locomotief pada 29 November 1926 mengabarkan bahwa penangkapan Lie Eng Hok berdasarkan permintaan Residen Banten yang curiga bahwa Lie terlibat dalam pemberontakan 1926.
De Locomotief juga mengabarkan bahwa Lie telah memiliki kartu pers resmi dari sekretaris karesidenan Banten. Ia selain bekerja sebagai wartawan koresponden Sin Po, turut menjadi koresponden pada surat kabar Kong Po, Tjamboek dan Sin Bin.
“Lie Eng Hok tinggal sekitar empat bulan di Semarang,” tulis De Locomotief.
Selama di Boven Digoel, Lie tetap berpegang teguh pada keyakinannya dan menolak bekerja untuk Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Alhasil, Lie dalam memenuhi kebutuhan hidupnya bekerja dengan menbuka kios tambal sepatu.
Bukti tersebut terlihat jelas dalam Sin Po pada edisi Sabtu, 6 September 1930 yang memuat foto Lie Eng Hok di Boven Digoel. Saat itu, ia tengah bekerja sebagai tukang tambal sepatu bersama U.Pardede, bekas pemimpin redaksi Soeara Kita di Pematang Siantar.
Pada 1932, Lie hukuman buang Lie berakhir. Ia kemudian kembali bekerja sebagai penjual toko buku tua.
Pasca kemerdekaan, pemerintah menghargai peran Lie selama berjuang. Pada 1959 berdasarkan SK Menteri Sosial RI No.Pol 111 PK tanggal 22 Januari 1959, pemerintah menetapkan Lie sebagai Perintis Kemerdekaan RI dan menerima hak uang tunjangan sebesar Rp 400 per bulan.
Lie yang lahir dari Desa Balaraja, Tangerang, 7 Februari 1893 menghebuskan nafas terakhirnya pada 27 Desember 1961.
Awalnya pemerintah mengubur jasadnya di pemakaman umum Semarang. 25 tahun kemudian, berdasarkan surat Pangadam IV/Diponegoro No. B/ 678/ X/ 1986, pemerintah memutuskan untuk memindahkan jasad Lie ke Makam Pahlawan Giri Tunggal Semarang.