LenteraJateng, SEMARANG – Puluhan orang ikuti tradisi kungkum saat malam 1 Suro di Tugu Suharto, Bendan Duwur, Gajahmungkur, Kota Semarang. Sejak pukul 21.00 WIB, masyarakat telah memadati lokasi tersebut.
Tepat tengah malam, masyarakat bergantian masuk ke air. Tempat kungkum atau berendam persis berada di pertemuan Kali Garang dan Kali Kreo.
Tokoh masyarakat Kalipancur, Supadi (62) mengatakan, tradisi kungkum di malam 1 Suro sudah berjalan sejak lama. Sejak tahun 1960-an, ritual ini sudah ada hingga sekarang.
“Selama pandemi dua tahun kemarin masih tetap ada. Tapi tidak besar-besaran,” kata Supadi, Sabtu (30/7/2022) dini hari.
Dipilihnya lokasi kungkum tersebut konon karena pertemuan atau tempuran dua sungai yang dianggap sebagai tempat ngalap berkah atau mengambil berkah.
“Jadi orang-orang kejawen mengambil manfaat untuk mandi kungkum, untuk kekebalan, menambah ilmu, membersihkan pusaka, ritualnya mereka di situ (Kaligarang),” lanjut Supadi.
Biasanya, masyarakat Jawa akan melakukan ritual wajib berupa menjamas benda-benda pusaka di malam 1 Suro. Di beberapa kota di Jawa, ada pula masyarakat yang melakukan laku puter benteng. Termasuk melaksanakan tapa kungkum di sumber air.
Meski sudah berpuluh-puluh tahun, ritual kungkum di Tugu Soeharto masih lestari karena masyarakat sudah menganggapnya menjadi tradisi. Sehingga, warga sekitar tetap mempertahankan apa yang telah orangtua wariskan untuk generasi mendatang.
“Kami sebagai pemangku wilayah menghormati para tamu yang datang ke situ untuk kungkum. Tidak ada uang masuk, hanya ambil parkir saja,” tuturnya.
Meski jumlah pengikut ritual kungkum mulai kembali meningkat setelah dua tahun pandemi, saat ini warga Kota Semarang masih mendominasi. Bahkan, ratusan orang memadati sepanjang akses jalan menuju Tugu Suharto untuk sekedar menonton.
Dua Versi Asal-Usul Tugu Soeharto, Puluhan Orang Kungkum Saat Malam 1 Suro
Supadi menjelaskan, ada dua versi berkembangnya cerita mengenai Tugu Soeharto. Konon, penyematan nama presiden RI kedua sebagai tugu karena ia memiliki kaitan di tempat tersebut.
Versi pertama adalah saat terjadi pertempuran lima hari di Semarang, Oktober tahun 1945. Soeharto saat itu turut terlibat pertempuran.
“Saat terdesak, Soeharto bersama pasukannya lari ke selatan. Kebetulan di tengah sungai itu ada batu besar dan bersembunyi di bawah situ (batu besar). Sehingga tidak ketahuan musuh,” terang Supadi.
Tempat yang bersejarah bagi Soeharto ini kemudian diabadikan dalam sebuah monumen dengan nama Tugu Soeharto.
Versi kedua, tugu berwarna putih itu dibangun melalui perantara Romo Diyat. Ia merupakan guru spiritual Soeharto sejak masih menjabat sebagai Pangdam IV/Diponegoro di tahun 1956 – 1960.
Romo Diyat adalah guru spiritual kejawen ternama di Semarang yang menjadi pembimbing Soeharto semenjak masa muda hingga mencapai puncak kariernya.