LENTERAJATENG – Hari Pers Nasional diperingati setiap tanggal 9 Februari, bertepatan dengan hari lahirnya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Merujuk pada sejarahnya, peringatan HPN pertama kali diselenggarakan pada 9 Februari 1985. Hal itu setelah Pemerintahan Orde Baru Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 5 tahun 1985.
Pemilihan tanggal 9 Februari sebagai HPN karena bertepatan dengan pembentukan organisasi PWI pada tahun 1946, yang pada Orde Baru merupakan satu-satunya organisasi wartawan yang diakui pemerintah.
Terlepas dari adanya perdebatan mengenai penetapan HPN, dengan adanya Keppres tersebut pemerintah berharap peran pers bisa semakin berkembang dan dapat memberikan kontribusi positif untuk menopang pembangunan nasional dan penguatan demokrasi.
Perlindungan terhadap pers selanjutnya juga diatur di dalam UU Nomor 40 Tahun 1999.
Munculnya beleid tersebut membuktikan bahwa negara sangat peduli dengan keberadaan pers di Indonesia. Sehingga siapa pun yang menghalangi kerja-kerja pers/wartawan, sesuai dengan regulasi tersebut ada ancaman atau sanksi pidananya.
Pers Merdeka, Demokrasi Bermartabat
Pada peringatan HPN 2023, tema yang diangkat adalah Pers Merdeka, Demokrasi Bermartabat. Tentu tema tersebut sangat relevan, mengingat peran pers dalam era demokrasi saat ini sangat nyata dalam mengurangi beragam persoalan di tengah masyarakat.
Seperti kita tahu bahwa terungkapnya beragam kasus, mulai korupsi, kekerasan yang dilakukan oknum aparat hingga mangkraknya pembangunan tidak terlepas dari peran insan pers Tanah Air.
Namun demikian, meski peran pers cukup vital dan dilindungi Undang-Undang, ternyata masih banyak tantangan dan hambatan yang dihadapi para jurnalis saat meliput sebuah kejadian di lapangan.
Dari catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), jumlah kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia sepanjang tahun 2022 sebanyak 59 kasus. Angka tersebut meningkat 37,21 persen jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebanyak 43 kasus.
Ironisnya lagi, jika dilihat dari pelakunya justru lebih banyak dari oknum aparat pemerintahan dan penegak hukum. Tercatat, dari total kasus kekerasan tersebut sebanyak 14 kasus di antaranya diduga dilakukan oleh Polisi, dua kasus diduga oleh oknum TNI dan tujuh kasus dari aparat pemerintahan.
Jika melihat data tersebut, tentu kondisi pers hari ini belum sepenuhnya merdeka. Pasalnya, masih banyak kejadian yang berusaha menghalang-halangi fungsi pers untuk mengungkap sebuah kasus yang terjadi di tengah masyarakat.
Terkait dengan kondisi itu, saya kira penting untuk memberikan edukasi kepada semua pihak terkait pemahaman dan aturan tentang pers.
Keterbukaan informasi
Dalam pengelolaan pemerintahan dan lembaga publik yang baik tentu mensyaratkan adanya transparansi dan akuntabilitas.
Oleh karena itu, untuk mendorong penguatan demokrasi dan partisipasi masyarakat dalam melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintahan serta lembaga publik harus ada keterbukaan informasi yang memadai.
Terlebih, hal itu juga telah ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Regulasi itu merupakan pengejawentahan dari Pasal 28 F Undang-Undang Dasar 1945 tentang hak asasi manusia bagi seluruh rakyat Indonesia di bidang komunikasi dan informasi.
Dengan adanya aturan tersebut, mestinya tanggung jawab mengenai informasi menjadi sebuah kewajiban bagi setiap lembaga publik.
Namun nyatanya, kondisi hari ini sepertinya belum sepenuhnya mencerminkan semangat dari pembentuk undang-undang dan masyarakat secara umum.
Faktanya, belum semua dinas atau instansi pemerintahan menghadirkan informasi yang memadai melalui kanal yang disediakan untuk memudahkan akses masyarakat.
Bahkan, baru-baru ini insan pers di Jawa Tengah dihebohkan dengan sikap arogan yang dilakukan sang gubernur.
Bagaimana tidak, saat ditanya mengenai penanganan macet di kawasan Pantura, alih-alih menjawab secara bijaksana, Ganjar Pranowo selaku Gubernur Jawa Tengah justru melecehkan sang pewarta dengan menyebut medianya tidak jelas dan enggan memberikan jawaban.
Selain itu, jika kita lihat di tempat-tempat pelayanan publik seperti Samsat, Pemda, Satlantas atau lainnya yang berkaitan dengan perizinan misalnya, masih cukup banyak ditemui masyarakat yang kecewa karena merasa di “pingpong” dan membayar di luar ketentuan seharusnya.
Lagi-lagi kondisi tersebut terjadi karena informasi yang tidak transparan. Sehingga wajar jika banyak dimanfaatkan oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab untuk mengeruk keuntungan.
Untuk mengurai persoalan terkait mandeknya informasi itu tentu bukan hanya menjadi tugas pers, melainkan semua pemangku kepentingan perlu duduk bersama. Sehingga dengan demikian diharapkan persoalan yang dihadapi bisa menemukan solusi terbaiknya.
Penulis: Setyo Puji Santoso, Jurnalis di Lenterajateng dan Sekertaris DPD KNPI Surakarta