Oleh: Turnomo Rahardjo*)
Elie Wiesel, penerima penghargaan Nobel Perdamaian mengatakan bahwa kebencian terhadap orang dari latar belakang budaya yang berbeda terjadi di berbagai wilayah dunia. Konflik kebangsaan di bekas negara Uni Soviet, konflik etnis di bekas negara Yugoslavia, konflik kelompok Syiah dengan Sunni di Irak, kasus etnis Rohingya di Myanmar dan etnis Oighur di China merupakan contoh kasus pertikaian berbasis identitas budaya. Daftar kebencian dan tindak intoleransi satu kelompok terhadap kelompok yang lain masih bisa diperpanjang, seperti sasus penembakan jamaah di dua masjid yang menewaskan 51 orang di Christchurch Selandia Baru. Pelaku penembakan, Brenton Harrison Tarrant, diduga sebagai penganut paham supremasi kulit putih (white supremacy).
Konflik antarkelompok berbasis identitas budaya (agama) juga terjadi di Indonesia. Konflik Ambon, Poso, Tolikara Papua, Aceh Singkil, Banten (kasus Jamaah Ahmadiyah), dan Madura (pengikut Sunni dengan Syiah) serta perusakan masjid Ahmadiyah di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Di beberapa wilayah, umat Kristiani tidak bisa menjalankan kegiatan religinya, karena tempat ibadah mereka dipersoalkan keberadaannya dan dirusak, seperti yang terjadi di Bekasi, Bogor, dan Sleman.
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, mempunyai lebih dari 13 ribu pulau dan 300 kelompok etnis. Jawa merupakan kelompok etnis terbesar, sekitar 41persen dari keseluruhan populasi. Indonesia memiliki 742 bahasa daerah, terbesar kedua setelah Papua Nugini. Indonesia juga merupakan negara multi agama. Potensi konflik yang mengarah pada munculnya kekerasan sangat mungkin terjadi dalam masyarakat multi budaya seperti Indonesia. Salah satu alasan yang mendasarinya adalah bahwa masyarakat terbelah ke dalam kelompok-kelompok berdasarkan identitas budaya mereka masing-masing.
Identitas budaya adalah apa yang kita konstruksikan ketika kita menjalin kontak dengan orang lain terlepas dari fakta bahwa mereka berasal dari “lingkungan” yang sama atau tidak (Samovar dkk., 2017). Masyarakat yang terbelah ke dalam kelompok-kelompok berdasarkan identitas budaya tersebut kemudian melakukan identifikasi, yaitu menegaskan diri mereka sebagai representasi dari sebuah budaya partikular. Identifikasi budaya ini pada gilirannya akan menentukan mereka ke dalam ingroup atau outgroup. Identitas merupakan isu utama bagi sebagian besar orang. Identitas berbicara tentang siapa kita, siapa orang lain, bagaimana kita memahami diri kita, dan bagaimana kita mengkomunikasikan identitas kita kepada orang lain (Martin & Nakaya, 2018).
Agama Sebagai Identitas
Dalam masyarakat yang memperlihatkan ciri multiagama seperti Indonesia, maka agama diposisikan sebagai rujukan untuk menjalankan identifikasi. Masyarakat semacam ini tidak sekadar memiliki keragaman budaya, tetapi juga keyakinan yang beragam. Terlebih lagi ketika masyarakat yang bercorak multiagama tersebut memiliki keyakinan yang kuat terhadap religi yang diyakininya. Agama, dalam konteks demikian, bukan sekadar menjadi sistem keyakinan yang bercorak netral, namun agama merupakan rujukan kebenaran dalam menjalankan tingkah laku kehidupan sehari-hari (Andersen & Taylor, 2011).
Mohammad Bisri melalui tulisannya “Kesulitan Merawat Keberagaman” (Suara Merdeka, 2 Nopember 2015) mengatakan bahwa sumber dari koonflik adalah munculnya tuntutan kebenaran (truth claim) di antara masing-masing pemeluk agama yang memandang hanya dalam agamanya ada kebenaran dan sebaliknya tidak ada kebenaran di luar agama yang diyakini. Agama memiliki dua wajah. Satu sisi, agama adalah pemersatu, lembut, dan penuh kedamaian. Dalam wajah yang lain, agama bisa menjadi faktor pemecah belah, bengis, dan penuh kekerasan. Agama menjadi pemersatu, karena melalui agama akan terbentuk solidaritas sosial, sebaliknya agama sebagai pemecah belah, karena atas nama agama orang bisa memusuhi dan mencurigai orang lain yang berbeda agama.
Penulis beserta kolega dalam beberapa kesempatan melakukan studi dengan topik komunikasi antarbudaya, agama, dan prasangka sosial. Studi tentang Agama dan Prasangka Sosial (Rahardjo, Sulistyani, Rahmiaji, 2020) mengkaji prasangka sosial pelajar SMA di Kota Semarang dalam konteks interaksi sosial dengan orang yang berbeda agama. Dalam konteks interaksi tersebut, apakah mereka membicarakan hal yang negatif dan memberikan julukan kepada orang yang berbeda agama, mempersuasi orang yang berbeda agama untuk berpindah keyakinan, menyetujui sangsi sosial dan fisik kepada orang yang berbeda agama, atau bahkan menghindari interaksi dengan orang yang berbeda agama.
Studi ini menemukan bahwa dalam lingkup interaksi sosial, mereka tidak membicarakan hal negatif tentang orang yang berbeda agama, mereka pun tidak memberikan julukan seperti kafir atau sesat kepada pihak yang berbeda agama. Temuan studi yang lain adalah bahwa pelajar SMA yang menjadi sampel dalam penelitian ini tidak berusaha untuk melakukan penghindaran komunikasi dengan individu-individu yang identitas agamanya berbeda. Temuan ini bermakna bahwa mereka bisa menjalin interaksi dengan siapa pun tanpa memperhatikan latar belakang budaya seseorang. Ketika menjalin interaksi, apakah mereka mempersuasi orang untuk berpindaj keyakinan?. Dalam catatan pengalaman mereka, tidak ada niat sedikit pun dari mereka yang berusaha secara persuasif memengaruhi pihak lain untuk berpindah keyakinan. Mereka pun juga tidak setuju dengan sangsi sosial dan sangsi fisik seperti pengucilan yang diberikan kepada orang yang berbeda agama.
Temuan penelitian tersebut mengindikasikan bahwa pelajar SMA yang menjadi sampel dalam studi ini tidak bersikap dan bertindak diskriminatif terhadap individu-individu yang berbeda agama. Dalam arti, mereka berpandangan bahwa orang yang berbeda keyakinan memiliki hak dan kesempatan yang sama dalam menjalankan aktivitas sehari-hari, tidak ada sekat agama atau pun sekat yang lain, misalnya dalam hal permukiman, pendidikan, dan pekerjaan.
Identitas Budaya dan Jarak Komunikasi
Studi lain yang penulis lakukan adalah Membangun Model Komunikasi Masyarakat Multiagama (Rahardjo & Lukmantoro, 2015). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pandangan masyarakat tentang terjadinya konflik berbasis agama dan jarak komunikasi individu-individu yang berbeda identitas agama. Studi ini mengintegrasikan survei dengan wawancara kualitatif, dilaksanakan di Semarang dan Surakarta dengan melibatkan 12 informan dari Forum Kerukunan Umat Beragama dan Forum Komunikasi Lintas Agama serta 360 orang sebagai sampel penelitian survei.
Dalam konteks interaksi sosial, warga masyarakat di Semarang dan Surakarta dappat menjalin relasi dengan baik tanpa mempersoalkan asal-usul atau latar belakang identitas sosial, ekonomi, dan budaya masing-masing. Pihak-pihak yang berinteraksi memiliki keterlibatan yang tinggi (high-involved people) yang ditandai dengan adanya rasa hormat kepada orang lain. Mereka juga bisa menjalin interaksi dengan santun dan berusaha untuk tidak menyinggung perasaan mitra komunikasinya dengan menjaga perilaku dalam berinteraksi (appropriateness). Tidak ada jarak komunikasi antara mereka ketika menjalin interaksi.
Terkait dengan jarak sosial dalam relasi antaragama, sebagian besar responden sama sekali tidak mempersoalkan latar belakang perbedaan agama ketika mereka menjalin hubungan pertemanan. Mereka menunjukkan sikap yang lebih moderat dalam menilai perilaku beragama orang lain. Agama sama sekali bukan menjadi penghalang mereka dalam pergaulan. Dalam relasi sosial, mereka tidak hanya menunjukkan keterlibatan dalam pergaulan, tetapi juga kesediaan untuk menghormati nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaann agama yang diyakini orang lain.
Dalam relasi antaragama, mayoritas responden menegaskan bahwa perbedaan agama tidak menyebabkan munculnya sekat-sekat sosial, perbedaan justru dianggap sebagai kewajaran. Menurut mereka, keyakinan yang berbeda tidak akan memengaruhi kredibilitas dalam jalinan sosial. Relasi sosial pihak-pihak yang berbeda agama terjalin sangat dekat. Mereka bersedia mengundang siapa pun ketika mempunyai hajat tanpa mempedulikan status agama. Selain itu, keterbukaan terhadap penganut agama yang berbada tidak hanya terjadi dalam pergaulan informal, tetapi juga dalam relasi pekerjaan yang bersifat formal.
Dalam catatan tokoh agama dan penggiat kerukunan antaragama, perbedaan agama perlu dijadikan sebagai sumber kekayaan dan saling memperkaya. Keberagaman agama merupakan anugerah, karenanya agama harus menjadi kekuatan yang memperkaya kehidupan, bukan justru untuk menciptakan sekat-sekat. Ketika agama dikaitkan dengan kemanusiaan, kerukunan, dan perdamaian, maka kita akan menemukan banyak keterkaitan dan titik temunya. Tidak ada satu pun agama yang mengajarkan kebencian.
Penelitian lain yang juga melihat bagaimana kemajemukan budaya dipahami masyarakat adalah jarak Sosial Mahasiswa Universitas Diponegoro Terhadap kelompok Minoritas Etnis (Sulistyani, Rahardjo, Rahmiaji, 2019). Studi ini melibatkan 415 mahasiswa Undip dari beragam etnis, yaitu Jawa, Sunda, Batak, Cina, Bugis, Banjar, dan Papua. Tujuan dari studi ini adalah mengukur jarak sosial mahasiswa Undip terhadap kelompok-kelompok minoritas etnis.
Simpulan dari studi ini adalah bahwa dalam konteks asosiasi/keterkaitan dengan Undip secara umum dapat dikatakan bahwa sebagian besar mahasiswa dari latar belakang etnis yang beragam tidak mempersoalkan kehadiran individu-individu dari etnis mana pun untuk memanfaatkan fasilitas yang ada di kampus Undip. Selain itu, dalam lingkup pandangan dan sikap mereka tentang individu-individu dari beragam etnis yang menjadi mahasiswa Undip, hampir semuanya menyampaikan persetujuan mereka. Artinya, mereka bisa menerima kehadiran individu-individu dari etnis lain yang menjadi mahasiswa Undip.
Komunikasi antara mahasiswa yang berbeda etnis dapat dilakukan secara efektif. Mereka tidak mengekspresikap sikap dan perilaku etnosentrik, stereotip, dan prasangka. Kondisi seperti ini bisa direpresentasikan dalam pemikiran konseptual yang dikenal dengan functional biculturalism, yaitu keseimbangan memelihara sense of self yang kuat dengan tetap menghargai identitas (etnis) orang lain dan cultural transformer, yaitu dapat beralih dari satu konteks budaya ke konteks budaya yang lain secara mindful dan mudah.
Keberagaman identitas budaya yang selama ini menjadi identitas keindonesiaan adalah modal sosial terpenting untuk merajut saling pengertian antarwarga bangsa. Keberagaman tidak seharusnya dijadikan alasan untuk tidak hudup rukun dan saling menghormati. Hidup dalam kerukunan dan harmoni telah menjadi prinsip universal yang diajarkan oleh semua agama. Dialog menjadi kata kunci dalam relasi komunikasi antarkelompok yang berbeda identitas agama. Melalui dialog akan tercipta kesetaraan di antara pihak-pihak yang berkomunikasi dan wujud hadirnya many voices, banyak suara.
*)Turnomo Rahardjo, Peneliti dan Pengajar Komunikasi Antarbudaya, Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Undip