LenteraJateng, SEMARANG – Literasi dan keamanan dalam menghadapi kejahatan digital menjadi hal yang cukup penting saat ini. Mengingat, kreatifitas dan kerja keras para penjahat digital terus berkembang.
Ridwan Sanjaya, seorang professor bidang sistem informasi Unika Soegijapranata mengatakan, efek dari kemajuan teknologi adalah internet yang saat ini tanpa batas. Untuk itu, manusia harus bersiap diri menghadapi efek negatifnya.
Berdasarkan hasil survey selama dua tahun belakangan, KataData dan Kementerian Komunikasi dan Informasi menunujukan hasil Indeks Literasi Digital Nasional berada pada angka 3,47 dari skala 5. Artinya, sudah berada pada taraf yang cukup baik.
“Bahkan, pada tahun 2021 menjadi 3,49. Bahkan, budaya digitalnya berada pada 3,9. Ini menunjukan adaptasi dan hal-hal terkait digital di sekitar kita luar biasa,” kata Ridwan.
Tapi, lanjut Ridwan, etika digitalnya rendah, di angka 3,5. Hal ini membuat Indonesia menjadi peringkat yang paling kasar di dunia, terutama di Asia Tenggara.
Yang berada pada skor yang agak memprihatinkan adalah soal literasi keamanan digital, yakni berada pada skor 3,10. Untuk Jawa Tengah, berada di peringkat 11 dari 34 provinsi yang ada di Indonesia.
Meski tidak skornya tidak terlampau jauh, ia mengingatkan bahwa masih harus ada peningkatan dan pengembangan terkait literasi keamanan digitalnya.
“Menggunakan teknologi oke. Tapi dampak dan efek dari konsekuensi digital ini perlu kita sampaikan kepada masyarakat. Percuma kita punya teknologi tapi tidak sampai ke masyarakat,” lanjutnya.
Langkah Antisipasi Menghindari Penipuan dan Kejahatan, Pentingnya Literasi Keamanan Digital
Prof. Ridwan menyebutkan beberapa langkah antisipasi yang bisa dilakukan untuk menghindari penipuan dan kejahatan digital. Utamanya adalah dengan tidak mengunggah dokumen yang mengandung data pribadi ke media sosial.
“Kemudian waspada permintaan akses data di aplikasi. Betul nggak permintaan itu memang harus kita lakukan untuk aplikasi,” sambungnya.
Dalam aplikasi pinjaman online, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menetapkan peer to peer landing yang memperbolehkan akses hanya untuk tiga fungsi. Kamera, microfon, dan loaksi
“Begitu lebih dari itu langsung stop. Selain itu, laporkan saja. Karena itu melanggar ketentuan OJK,” tegasnya.
Antisipasi lainnya adalah dengan membatasi jumlah keikutsertaan pada layanan digital.
“Semakin banyak layanan yang kita pakai kan semakin banyak data yang disetor ke aplikasi. Kalau integritas dari orang dalamnya kurang, mereka bisa menyebarkan data kita,” papar Ridwan.
Selain itu, pengguna layanan digital juga bisa menginstall aplikasi atau tools seperti TrueCaller untuk mengidentifikasi panggilan maupun pesan masuk.
Menghapus informasi pribadi di sampah paket belanja online juga penting. Hal ini untuk menghindari penjualan data pribadi oleh pihak yang tidak bertanggungjawab.
“Kalau kita menerima paket e-commerce, terdapat data pribadi seperti nama, telfon dan email yang tercantum. Data ini bisa dibeli dengan harga Rp 5 – 8 ribu,” tandasnya.
Terakhir, Ridwan berpesan dunia saat ini terbuka tanpa batasan dan membutuhkan tingginya kewaspadaan. Hati-hati dengan kejutan, apalagi yang meminta transferan.
“Permintaan akses data pribadi, harus dipikir sekali lagi. Tetap tenang dan telusuri, agar tidak menyesal di kemudian hari,” tutupnya.