LenteraJateng, SEMARANG – Sebuah kuburan massal terletak di Plumbon Wonosari, Ngaliyan Kota Semarang. Makam tersebut berisikan orang-orang terduga anggota partai komunis Indonesia (PKI) sekitar tahun 1965.
Ada kurang lebih 24 orang yang dikubur dalam tiga lubang yang terpisah di area tersebut. Namun, hanya beberapa nama yang tercatat pada sebuah nisan.
Di atas nisan yang terbuat dari marmer setinggi satu meter itu, terdapat delapan nama yang tertulis. Ada Moetiah, Soesatjo, Darsono, Sachroni, Joesoef, Soekandar, Doelkhamid dan Soerono.
Moetiah adalah satu-satunya wanita yang terkonfirmasi ada di makan tersebut. Sedangkan Soesatjo adakah Wakil Bupati Kendal pasa masa itu.
Para korban yang dikubur sebenarnya bukan hanya simpatisan PKI. Bahkan, terdapat warga biasa yang tertuduh menjadi simpatisan. Hingga akhirnya mereka diculik dan dibunuh lalu dikubur di tengah hutan jati tersebut.
Tindakan eksekusi tanpa melalui proses peradilan ini, tentunya menjadi potensi dugaan kejahatan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Apalagi, isu PKI sebagai pemberontak negara di peristiwa 1965 pada saat itu tak terbendung di tengah masyarakat.
Selang 50 tahun peristiwa eksekusi Plumbon, pada tahun 2015 akhirnya diresmikanlah nisan yang berisikan nama korban eksekusi tadi. Bersama aktivis HAM, tokoh agama dan kalangan akademisi, cerita kuburan Plumbon mulai bisa diterima oleh masyarakat sebagai cara untuk memanusiakan manusia yang sudah tiada.
Aktivis HAM Yunantyo Adi menuturkan, awalnya ide di pemakaman Plumbon adalah menggali dan memeriksa DNA mereka satu persatu dan memakamkannya kembali. Namun gagasan ini harus kandas di tengah jalan karena respon Komisi Nasional (Komnas) HAM yang tak kunjung bersambut.
“Kami tidak bisa serta-merta menggalinya karena harus ada dokumentasi negara, dalam hal ini dilakukan oleh Komnas HAM. Kalau tidak nanti kami dianggap merusak barang bukti. Sejak 2012 lalu sudah ada rekomendasi, tapi beberapa kali bertemu dan audiensi, hasilnya nihil. Akhirnya kami putuskan tinggalkan Komnas HAM,” kata Yunantyo, saat ditemui beberapa waktu lalu.
Peran Wartawan
Sepakat untuk tak menunggu Komnas HAM, Yunantyo bersama pegiat lainnya, melakukan gerilya bersama wartawan di Semarang untuk menemui pejabat terkait. Mengingat isu soal PKI masih sensitif dan tabu di tengah masyarakat meski sudah lewat puluhan tahun.
Bagi Yunantyo, peran wartawan sangat penting dalam merekonstruksi kembali soal makam massal di Plumbon. Sebagi profesi, wartawan bisa menjadi penengah di antara pro kontra isu ini.
“Dibantu teman-teman wartawan, akhirnya waktu itu ke Wali Kota. Kemudian jajaran kepolisian dari Polsek, Polres, Polda, mereka datangi Intelkam. Termasuk jajaran TNI mulai dari Koramil, Kodim, sampai Kodam,” bebernya.
Dengan adanya dukungan dari para pewarta inilah, dengan instansi maupun pejabat terkait bisa mendapatkan respon yang baik. Bahkan camat Ngaliyan memberikan ruangan untuk melakukan rapat dan pertemuan terkait makam ini.
“Ketika Komnas HAM kami kesampingkan, maka harus melakukan kegiatan ini dengan jujur. Kenapa door to door, karena mereka dapet dari broadcast berdasarkan informasi orang lain yang tidak benar. Jadi ketika ada info masuk, mereka sudah dapet informasi pertama dari kami,” jelasnya.
Wartawan sangat membantu dalam hal konfirmasi karena bisa diterima di segala lini. Termasuk banyak melibatkan tokoh agama seperti Haji Hambali di Kaliwungu dan Romo Budi.
Namun, sandungan sempat terjadi ketika bertemu beberapa ormas. Yunantyo sempat dilaporkan ke polisi karena dianggap sebagai indoktrinasi kebangkitan PKI baru.
“Tapi ketika saya temui, saya jelaskan tujuannya apa, dengan ormas-ormas ini clear. Dari situ modal saya ngurusi makam itu,” tuturnya.
Misi Kemanusiaan, Rekonsiliasi Kuburan Massal PKI di Plumbon
“Saya tidak lagi dianggap bahaya. Misi kami hanya memanusiakan manusia. Ibaratnya ini ada orang dikubur tidak diurusi, terlepas latar belakangnya apa,” tegas Yunantyo.
Setelah urusan perijinan dan konfirmasi bisa tuntas, Yunantyo bersama kawan-kawan menyurati Perhutani lantara lokasi kuburan massal Plumbon ada di kawasan milik perusahaan plat merah tersebut.
“Kami surati Perhutani Kendal dan Provinsi untuk ijin mendirikan makam dengan ukuran 5 x 10 meter. Kenapa ukurannya segitu, karena terlihat dari rumput gundul ada di area seluas itu,” kata dia.
Ia mendapat respon positif dari pihak Perhutani bahkan tak ada penolakan. Perhutani juga menujukan soal peta khusus yang tidak bisa mereka tanami. Adanya kesempatan ini, maka Perhutani juga berkepentingan untuk memperjelas status lokasi yang dimaksud.
Setelah rangkaian proses survey dan penentuan lokasi dilalui, baik menggunakan peta, foto dan video, Perhutani membuat berita acara dengan mengundang warga.
“Sekitar akhir April ada surat balasan dan kami diperbolehkan membuat makam dengan luas sesuai usulan dan nisannya. Kami menyepakati peresmian 1 Juni karena ide itu untuk mengingatkan hari lahir Pancasila pada waktu itu tidak banyak yang tahu,” lanjut Yunantyo.
Setelah dibuat panitia kecil, akhirnya peresmian itu dilakukan. Tidak ada hambatan yang berarti, selama kegiatan ini berlangsung.
“Sedikit melenceng dari ide awal, tapi akhirnya bisa diresmikan secara negara karena dari pihak Pemkot Semarang juga hadir pada waktu itu. Penetapan batas, nisan, dan nama-nama bisa tercantum disana,” tandasnya.