LENTERAJATENG, SEMARANG – Perubahan iklim dan tata guna lahan, menjadi faktor terbatasnya pasokan air sehingga seiringnya waktu menimbulkan krisis air. Krisis air juga terjadi ketika kebutuhan akan sumber air lebih tinggi dari tingkat ketersediaan.
Ketua Program Doktor Ilmu Lingkungan Soegijapranata Catholic University (SCU) Dr Florentinus Budi Setiawan mengatakan, air selalu dianggap sebagai sumber daya terbarukan karena Indonesia selalu mengalami musim hujan setiap tahunnya.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir curah hujan di Pulau Jawa cenderung menurun. Peningkatan suhu, penguapan, atau penguapan air yang tinggi menyebabkan defisit air.
Belum lagi faktor antropogenik yang semakin memperparah krisis air saat ini.
Di negara berkembang seperti Indonesia, limbah industri dibuang ke perairan tanpa pengolahan, sehingga menimbulkan polusi dan mengancam akses terhadap air minum, ketahanan pangan, dan kesehatan secara keseluruhan.
Beberapa pemicu krisis air mulai dari perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, hingga konversi lahan.
Industri dan rumah tangga mengambil air dalam skala besar bahkan mengubah penggunaan lahan dan menyebabkan pencemaran air. Ketersediaan ini akan terus menurun hingga mencapai titik kritis.
Potensi krisis air terjadi akibat masyarakat tidak bijaksana dalam menggunakan sumber air dan tidak meratanya distribusi air.
Sebagian warga mengambil air tanah melalui sumur bor. Selain merusak air tanah, hal ini juga menyebabkan ketersediaan air semakin berkurang akibat ekstraksi yang tidak terkendali.
Untuk itu, pemerintah sedang membangun sistem penyediaan air minum dan pembangunan bendungan di sejumlah wilayah terutama di Pulau Jawa.
Kemungkinan terjadinya krisis di Pulau Jawa juga yang mendorong wacana pemindahan ibu kota, guna mengurangi beban di pulau terpadat di Indonesia ini.
Sisi lain, pengelolaan air bersih di wilayah Indonesia yang lain, khususnya di wilayah Timur perlu mendapat perhatian mengingat perubahan iklim telah sangat nyata terlihat.
Fenomena EL Nino dan La Nina telah membuat temperatur menjadi sedemikian extrem dan berdampak pada kekeringan yang berkepanjangan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa krisis air tidak akan berakhir hanya dengan pembangunan waduk saja. Teknologi pemurnian air massal bisa menjadi solusi yang lebih baik.
Jika prediksi perubahan iklim menjadi kenyataan, maka penampungan air akan tetap kering, dan pemanfaatan air laut, air sungai bahkan pertambahan air limbah akan lebih baik.
Air bersih sangat sulit didapat karena banyaknya masyarakat yang membuang sampah pada sumber, aliran dan tempat penampungan sehingga dapat menyebabkan menjadi tercemar.
Sehingga menimbulkan penyakit pada makhluk hidup, punahnya spesies, dan munculnya berbagai macam bencana alam.
Selanjutnya ekosistem makhluk hidup di bumi menjadi terganggu dan rusak. Untuk itu perlu dilakukan pengamanan dan pengelolaan salah satu sumber daya alam air.
Upaya yang dapat dilakukan untuk menjaga dan melestarikan ketersediaan air bersih di antaranya dengan mjelaksanakan program penghematan air di lingkungan sekitar agar penggunaan air tetap efisien dan menjaga ketersediaan sumber daya air.
Langkah berikutnya adalah membuat tempat penampungan air seperti waduk, bendungan dan danau untuk menjaga keberadaan air untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Hal yang tidak kalah pentingnya adalah menciptakan teknologi yang dapat mendaur ulang air.
Gerakan mengumpulkan dan mengelola limbah pabrik dan rumah tangga, serta perilaku tidak membuang sampah atau limbah ke sungai patut diapresiasi.
Sedangkan Konservasi sumber air juga sangat penting sebagai upaya pengelolaan sumber daya air secara bijaksana dengan memperhatikan.
Untuk mengulas hal tersebut, Program Doktor Ilmu Lingkungan Soegijapranata Catholic University (SCU) Semarang menghadirkan sejumlah ahli dalam forum ilmiah secara daring, Rabu 25 Oktober 2023.
Webinar bertemakan Strengthening Sustainable Water Resources to Support Quality of Live Improvement ini membahas isu-isu penting berkaitan dengan sumber daya air.
Dalam webinar ini juga akan dipaparkan Sekilas tentang waduk Kedungombo dan sekitarnya. Bagaimana system pengelolaan bendungan.
Masalah untuk mendapatkan air bagi waduk Kedungomo dan cara distribusi ke saluran irigasi, air minum dan lain sebagainya.
Selain, tren penurunan jumlah air dan penurunan kapasitas akibat pendangkalan. Serta bahasan tentang Kepedulian masyarakat mengenai keberadaan waduk.
Webinar tersebut menghadirkan Dosen Universitas Pelita Harapan Jakarta Alexander Aur SS MHum sekaligus mahasiswa Program Doktor Ilmu Lingkungan SCU dan Perwakilan BBWS Pemali – Juana Kementerian PUPR Purwanta ST dan Dosen Fakultas Ilmu dan Teknologi Lingkungan SCU Prof Dr Ignasius Dwi Atmana Sutapa MSc.