LenteraJateng, SEMARANG – Kota Semarang menghentikan pembelajaran tatap muka (PTM) mulai Senin (7/2/2022). Menurut pengamat kebijakan pemerintah Dzunuwanus Ghulam Manar, kebijakan tersebut sesuatu yang normal.
“Sampai Februari 2022, kondisinya masih fluktuatif. Artinya, ketika terjadi angka infeksi bahkan angka kematian yang tinggi, pemerintah berusaha melakukan kebijakan yang moderat,” kata Ghulam melalui sambungan telepon, Jumat (4/2/2022).
Moderat dalam artian lanjut Ghulam, adalah kebijakan yang masih berada di tengah. Misalnya, karena ada kondisi yang sangat ekstrem, harus memberlakukan lockdown. Namun ada pula yang tidak ketat sama sekali.
“Dari sinilah, selain masalah kesehatan, pandemi ini berkaitan dengan kehidupan sosial ekonomi. Maka pemerintah bisa melakukan pengetatan atau pelonggaran. Ketika saat ini ternyata anak usia sekolah juga bisa terinfeksi, langkah yang paling bijak adalah menghentikan PTM sementara untuk kembali ke pembelajaran daring,” papar dia.
Beberapa kajian, Ghulam menuturkan, Indonesia tidak mungkin melakukan lockdown. Karena ada beberapa pertimbangan sosial ekonomi yang lebih berharga ketimbang itu. Kebijakan Pemkot Semarang terkait pengetatan pembelajaran, dinilai tepat karena sesuai perkembangan penularan pada masing-masing wilayah.
“Kota Semarang yang lebih cepat menuju PPKM level 1 dibandingkan kabupaten/kota yg lain. Jadi ada progress yang bagus. Ketika pandemi ini belum berakhir, infeksinya meningkat lagi dan ada varian baru, tidak ada pilihan lain,” tutur dia.
Kebijakan Tidak Membuat Semua Orang Suka, Kota Semarang Hentikan PTM
Menurut Ghulam, dari setiap tindakan pemerintah pasti terukur. Terkait pandemi saat ini, ukurannya adalah angka infeksi dan angka kematian. Jika angka tersebut meningkat, tentu akan melakukan pengetatan.
“Apakah semuanya happy, tidak. Semuanya pasti tidak happy. Karena sebelumnya pemberlakuan daring cukup lama, kemudian beberapa waktu ini ada kesempatan luring. Sekarang harus daring lagi,” ujar pengamat yang juga dosen Ilmu Pemerintahan itu.
Ghulam menghimbau, masyarakat perlu memiliki kesadaran bersama, bahwa ini adalah upaya untuk menghindari kerugian yang lebih besar.
“Kerugian yang lebih besar itu terkait dengan angka infeksi, pelayanan kesehatan, hingga fasilitas intensif yang jumlahnya saat ini sangat terbatas,” tutur dia.
Ghulam menambahkan, era pandemi seperti ini, baik individu, keluarga maupun pemerintah yang bisa di lakukan memang pengetatan dan pelonggaran, seperti gas dan rem. Mutasi virus itu tidak terduga oleh ilmu pengetahuan, bahkan bisa jadi nantinya ada varian baru yang belum terdeteksi.
“Kita belum ada ilmuwan yang secara komprehensif menemukan formula untuk menangani pandemi ini,” tutup dia.
Editor : Puthut Ami Luhur