LENTERAJATENG, SEMARANG – Kolektif Hysteria kembali gelar event seni dua tahunan yakni Penta Klabs. Diinisiasi sejak tahun 2016, Penta Klabs di tahun ke empat ini mengangkat tema ‘Malih Dadi Segara’.
‘Malih Dadi Segara’ mengambil objek mengenai persoalan rob di daerah pesisir, tepatnya di Kampung Nelayan Tambakrejo, Semarang Utara, Kota Semarang. Melibatkan berbagai kelompok seni, potret masalah pesisir dituangkan dalam berbagi karya seni.
Acara utamanya berupa pameran visual, pertunjukan, dan simposium dengan turunannya meliputi riset, lokakarya, gigs, art-project, dan lainnya. Penta Klabs ‘Malih Dadi Segoro’ juga turut melibatkan akademisi dan stakeholder terkait.
Event ini merupakan pertemuan antara berbagai stakeholder dan lintas disipliner (kamu, kalian, kita- kelas- kampus- kampung-kota/ 5KLabs) untuk memikir-bicarakan serta aksi-aksi kecil tentang fenomena tertentu di ruang yang spesifik.
Ketua Panitia, Puna Cipta Nugraha menjelaskan, tema ‘Malih Dadi Segara’ merupakan gambaran yang menceritakan tentang perubahan iklim dan kebijakan pesisir. Selain itu peran masyarakat dalam melangsungkan kehidupan di tengah kondisinyang serba tidak pasti.
“Dalam kegiatan ini kami juga bernegosiasi dengan pemilik rumah dan warga untuk mempresentasikan karya mereka, karena dalam festival ini para seniman akan ditantang untuk menaklukkan ruang-ruang kampung, berbeda dengan galeri mapun ruang pamer yang mapan,” ujarnya.
Karya para seniman yang terlibat nantinya akan berada di setiap sudut hunian sementara Kampung Nelayan Tambakrejo, Semarang Utara. Terdapat 46 seniman nasional maupun internasional.
Tak hanya melulu tentang persoalan seperti rob dan perumahan yang layak sebagai wacana yang perlu diproduksi terus menerus, Puna mengaku lewat kegiatan ini juga ingin mengangkat tentang siasat hidup warga dan nilai-nilai budaya yang ada di Tambakrejo perlu dimunculkan sebagai salah satu cara melihat kampung sebagai ruang yang hidup.
Kolaborasi Bersama Masyarakat, Kolektif Hysteria Kembali Gelar Penta Klabs
Agus Budi Santoso, seniman yang turut berpartisipasi mengatakan, dalam festival nanti komunitasnya akan menggunakan media karton bekas. Ia bersama komunitasnya, Semarang Sketchwall (SSW) membuat sebuah lukisan yang merespon cerita tentang masyarakat di Kampung Tambakrejo.
“Tentunya dari sini banyaklah cerita-cerita tragis, suka dan duka, itulah yang kami respon pada karton-karton bekas ini. Kami berkolaborasi dengan masyarakat disini dari anak-anak sampai orang dewasa dan dikemas dalam bentuk kegembiraan berkarya. Supaya mereka tetap punya harapan, bahwasanya kehidupan itu tidak hanya sekarang atau masa lalu tapi masa depan itu lebih bagus dan lebih cerah itulah harapannya,” pungkasnya.