LenteraJateng, BATANG – Gemericik air sungai dan semilir angin menyambut kedatangan setiap pengunjung yang masuk ke wisata pemandian air panas Tirta Assyifa. Tak dinyana, pemandian air panas yang berada di samping sungai Lampir itu menyimpan kepingan cerita pasca tahun 1965.
Berada di perbatasan antara kabupaten Kendal dan Batang, pemandian air panas ini sempat menjadi lokasi penahanan bagi para istri pejabat Partai Komunis Indonesia (PKI) dan tokoh-tokoh Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) setelah peristiwa 30 September.
Kamp Pelantungan, begitu biasanya lokasi ini disebutkan oleh beberapa sumber. Dulunya merupakan rumah sakit khusus bagi penderita kusta yang dibangun oleh Belanda sekitar tahun 1870.
Bangunan rumah sakit memiliki luas 6 hektar yang dibagi dua bagian. Lahan bagian depan seluas 4,4 hektar dipakai untuk Lapas Terbuka Pemuda Kelas IIB Plantungan Kendal.
Kemudian lahan di bagian belakang seluas 1,5 hektar yang kini dimanfaatkan sebagai tempat wisata pemandian air panas. Wisata pemandian air panas inilah lokasi eks Kamp Pelantungan sebelumnya berada.
Lokasi tepatnya berada di dusun Pesanggrahan, Desa Sangu Banyu, Kecamatan Bawang, Batang.
Sekitar tahun 1966, Kamp Pelantungan menjadi tempat pemenjaraan bagi wanita yang berafiliasi dengan komunis pada waktu itu. Sayangnya, kamp-kamp tahanan yang berupa bangsal atau barak, telah musnah dihantam banjir bandang pada tahun 1989.
Saat ini, Lapas Terbuka dan lokasi eks Kamp Pelantungan terhubung oleh sebuah jembatan dengan penyangga besi yang telah ada sejak rumah sakit khusus penyakit kusta ini dibangun. Meski kini kondisi jembatan hanya menggunakan bambu tanpa pengaman di kanan kirinya.
Penuturan Sesepuh Desa, Eks Kamp Pelantungan yang Kini Jadi Wisata Pemandian Air Panas
Sesepuh Desa Sangu Banyu yang akrab disapa Mbah Suhud (83) menuturkan, awal kedatangan para wanita sebagai tahanan politik yakni di tahun 1966 hingga 1967. Ia menyebut sekitar seribu wanita tercatat ada di kamp Pelantungan.
“Dulu kami nggak bisa lewat jembatan atau masuk. Harus lewat jalan lainnya. Lokasi itu dijaga ketat sama militer,” tutur Mbah Suhud, ketika ditemui di rumahnya, Kamis (29/9/2022).
Mbah Suhud yang kala itu menjabat sebagai carik atau sekretaris desa, hanya bisa melihat dari kejauhan kegiatan dalam kamp tersebut. Sekitar kamp bahkan dikelilingi kawat berduri.
“Di dalam tahanan itu dikelompokkan kerjanya. Kalau ada dokter, bidan, perawat mereka jadi satu di klinik. Ada yang menjahit, ada yang pertanian. Mereka hidup dari hasil tani di dalam kamp itu,” lanjutnya.
Setelah bertahun-tahun ada di dalam tahanan, di tahun 1979, para wanita ini akhirnya dipulangkan ke daerahnya masing-masing. Kamp Pelantungan pun kosong.
Dua tahun lalu, di tahun 2020, beberapa eks tahanan wanita Kamp Pelantungan masih mengunjungi lokasi tersebut. Antaranya berasal dari Surakarta, Yogyakarta, dan Jakarta.
“Mereka datang untuk napak tilas tempat dulu ditahan disini. Sempat ketemu saya juga. Sudah pada pakai tongkat,” imbuhnya.
Jadi Wisata Pemandian Air Panas
Entah darimana asalnya, terdapat sejumlah titik sumber air panas yang keluar dari dalam tanah. Sumber-sumber inilah yang kemudian menjadi lokasi pemandian.
Puluhan tahun tak terjamah, pemandian air panas akhirnya mulai dikelola oleh warga setempat. Bekas lokasi bangunan barak yang sudah tak bersisa, akhirnya dijadikan taman bermain dan kolam maupun pancuran air panas.
Kolam mandi maupun pancuran terpisah bagi pria dan wanita. Terlihat warna kuning kecoklatan menunjukan belerang atau sulfur yang terbawa dari kandungan air panas tersebut.