LenteraJateng, SEMARANG – Bus bumel atau mlebu kumel merupakan legenda angkutan umum di Semarang era 90-an. Bus ini menggambarkan kondisi bus kelas ekonomi tanpa pendingin.
Bus bumel menjadi transportasi yang lazim digunakan masyarakat untuk bepergian dengan jarak yang relatif dekat. Namun, seiring berjalannya waktu, bus bumel kini hanya menjadi legenda karena keberadaannya telah punah terkikis zaman.
Secara tampilan fisik, bus bumel biasanya merupakan bus-bus tua dengan kondisi bodi kendaraan yang lusuh dan tidak terawat. Bus bumel biasanya punya konfigurasi jok dua sampai tiga kursi.
Ketua Organisasi Angkutan Darat (Organda) Kota Semarang, Bambang Pranoto Purnomo, mengatakan ada tiga penyebab utama bus bumel perlahan tenggelam. Yakni perkembangan bus, teknologi hingga situasi sosial.
“Sekarang sudah tidak ada. Sebagian masuk Trans Semarang. Sisanya punah,” kata Bambang, Jumat (8/7/2022).
Meski saat ini telah punah, Bambang menyebut bus bumel yang menjadi legenda angkutan umum itu masih nampak pada tahun 2018. Namun, memasuki masa pandemi Covid-19, tepatnya 2019 dan seiring berjalanya waktu, bus legenda itu kini tak pernah nampak lagi.
“Mulai 2005 terus mati suri, 2012 mulai sering nampak kembali, terus sekarang 2022 trayek bis reguler kota Semarang baik Damri maupun swasta perorangan sama sekali sudah tidak ada. Jadi puncaknya itu pas Pandemi Covid-19,” bebernya.
Di Masa Gemilang Kantongi Rp 300 Ribu Per Hari, Bus Bumel Legenda Angkutan Umum
Saat masa gemilangnya, lanjut Bambang, bus bumel dalam sehari bisa mengantongi Rp 300 ribu. Trayek atau jurusan bus bumel dulu itu ada yang melalui trayek di Genuk – Pudakpayung, Pudakpayung – Mangkang dang Mangkang – Plamongan.
“Contoh di koridor empat, dulu bus reguler ada 35, trayeknya Cangkiran -Tawang – Terboyo. Tapi dengan adanya program pemerintah tahun 2012, para pengusaha diakomodir dan menjadi 26 bus Trans-Semarang,” jelasnya.
Beberapa perusahaan otomotif (PO) sempat merajai bus bumel yang ada di Kota Semarang. Antaranya, Umbul Mulyo, PT Semeru dan Shima yang memiliki ratusan armada.
“Terutama Umbul Mulyo, kepemilikan bus sekitar 300-an. Nomor dua Semeru yang ada beberapa trayek dimiliki satu pengusaha. Terus ada lagi Shima, mempunyai dua trayek di Genuk -Pudakpayung dan Mangkang -Pudakpayung. Lainya, ada gabungan para pengusaha yang mempunyai 2 atau 3 bus di trayek yang sama,” tandas Bambang.