LenteraJateng, SEMARANG – Aktivis perempuan prihatin setiap peringatan International Women’s Day (IWD), pada 8 Maret masih banyak perempuan yang mendapatkan kekerasan. Melihat dari banyaknya kasus kekerasan, stigmatisasi, dan diskriminasi terhadap perempuan.
Berdasarkan data dari LRC KJ-HAM, sepanjang 2021 terdapat 10.247 kasus kekerasan terhadap perempuan, dimana 15,2 persennya adalah kekerasan seksual.
Perwakilan LRC-KJHAM,Citra Ayu menyebut, kasus tertinggi adalah kasus kekerasan seksual dengan jumlah korban 74 persennya atau 89 orang di antaranya adalah perempuan.
“Jika membandingkan dengan tahun sebelumnya, jumlah tersebut menurun tetapi bukan berarti tidak ada kasus lagi. Karena bisa jadi, korban terbatas mendapatkan informasi terkait lembaga layanan perlindungan korban dan terbatas untuk akses transportasinya,” kata Citra di Semarang, Selasa (8/3/2022).
Hal ini semakin menunjukkan bahwa sistem hukum yang berlaku di Indonesia belum mampu secara sistematis. Baik itu lanjutnya, untuk mencegah, melindungi, memulihkan, dan memberikan akses pemberdayaan bagi korban kekerasan seksual.
Maka, ia mendorong DPR RI agar segera mengesahkan RUU TPKS yang berpihak pada korban, dan setiap elemen masyarakat dapat terlibat dalam pendidikan publik dan kampanye penghapusan kekerasan seksual. Serta Mendukung perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual untuk mendapatkan hak penanganan, perlindungan dan pemulihan.
Rofi Lutfiani, perwakilan mahasiswa Universitas Diponegoro (Undip) menyampaikan, pada momen IWD ini merupakan saat yang tepat untuk menyuarakan tentang kekerasan seksual dan diskriminasi yang sering dialami perempuan. Apalagi, pemerintah sangat tidak konsisten dalam menggodok RUU TPKS. Selama ini, pembahasan RUU tersebut justru terkesan tarik ulur.
“Bentuk kekerasan seksual yang tercantum hanya pemerkosaan dan pencabulan. Padahal, melihat dari pengalaman penyintas, bentuk kekerasan seksual lebih kompleks,” terang Rofi saat berorasi, di depan komplek kantor Pemerintahan Jateng, Selasa (8/3/2022).
Padahal sebelumnya, usulan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) justru lebih komprehensif, karena memuat pencegahannya. Namun sayangnya, Panitia Kerja (Panja) DPR RI mengubahnya menjadi RUU TPKS yang hanya fokus pada tindak pidananya.
“Kami lebih mendukung RUU PKS ketimbang TPKS. Karena cakupan definisinya lebih banyak di RUU PKS, yakni sebanyak sembilan jenis. Sedangkan di RUU TPKS hanya empat jenis,” tutur kader GMNI Fisip Undip tersebut.
Perguruan Tinggi Urutan Pertama Kasus Kekerasan Perempuan, Aktivis Perempuan Prihatin Setiap IWD
Lebih lanjut, Rofi memaparkan, perguruan tinggi menduduki urutan pertama sebagai institusi atau tempat yang paling banyak kasus kekerasan seksual. Hal ini malah menjadi paradoks, karena kampus yang seharusnya sebagai ruang aman, tempat mahasiswa mendapatkan ilmu dan kompetensi, tapi pada kenyataannya masih jauh dari harapan.
“Perguruan tinggi sebagai wadah insan intelektual justru ternodai dengan adanya beberapa kasus seksual di kampus. Benarkah Merdeka Belajar sudah sepenuhnya merdeka dari kekerasan seksual,” tutur Rofi.
Meski begitu, lahirnya peraturan menteri tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi menjadi harapan baru bagi segenap civitas akademika. Kebijakan yang keluar pada Agustus 2021 lalu itu memuat aturan yang komprehensif, termasuk bentuk pelecehan verbal.
“Beruntungnya, aturan tersebut menjadi angin segar bagi kami, di tengah lembaga legislatif inkonsisten dalam proses pengesahan RUU TPKS. Ini merupakan langkah yang progresif di tengah kebutuhan penyintas,” tuturnya.
Harapannya, kebijakan dari Nadiem Makarim itu menjadi permulaan untuk mencegah dan menangani kekerasan di perguruan tinggi. Selain itu dapat menjadi guideline atau dasar untuk merumuskan peraturan yang lebih rinci dan detail.
Editor: Puthut Ami Luhur