Dewasa ini panggung politik dan kehidupan masyarakat kita diwarnai menguatnya sikap intoleran lengkap dengan aksi-aksi rasis penuh teror berlatar belakang agama. Lebih memprihatinkan lagi, berbagai survei menyebutkan, generasi muda kita semakin intoleran dan mengalami radikalisasi secara ideologis yang bertali-temali antara agama dengan kepentingan kekuasaan politik.
Gerakan intoleran dan radikalisasi ideologis dengan menggunakan sentimen agama tertentu itu, semakin nyata ketika bertautan dengan kepentingan politik praktis merebut atau mempertahankan kekuasaan. Untuk memenangkan pertarungan politik, tidak jarang beberapa elite politik menggunakan sentimen agama dan teror untuk mendapatkan dukungan masyarakat.
Gerakan intoleran dan radikalisasi ideologis dengan menggunakan sentimen agama tertentu itu, semakin nyata ketika bertautan dengan kepentingan politik praktis merebut atau mempertahankan kekuasaan. Untuk memenangkan pertarungan politik, tidak jarang beberapa elite politik menggunakan sentimen agama dan teror untuk mendapatkan dukungan masyarakat.
Bertemunya kepentingan antara kelompok intoleran fundamentalis dengan elite politik tersaji dengan jelas dalam perebutan kekuasaan politik daerah maupun negara beberapa waktu lalu. Gerakan intoleran dan radikalisme menggunakan sentimen agama, menjadi cara yang efektif untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan politik di tengah masyarakat yang apatis dan kehilangan sikap kritisnya.
Pada sisi lain, kasus korupsi yang dilakukan pejabat politik kita hasil demokrasi elektoral terbilang masih sangat tinggi. Sementara itu, budaya musyawarah mufakat serta berargumen dengan mengedepankan akal sehat dan tradisi akademik yang kuat seolah telah mati. Apakah semua itu berhubungan dengan terperangkapnya agama sebagai ideologi untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan politik?
Agama dan Kekuasaan Politik
Barangkali, hingga hari ini masih banyak orang yang mengira bahwa agama hanya berhubungan dengan kesucian, kesempurnaan hidup, dan kegiatan amal saleh saja. Agama dianggap steril dari kepentingan politik, terutama politik pertarungan untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan.
Agama dan kekuasaan politik adalah dua entitas otonom yang tampak seolah tidak terhubung sama sekali. Boleh-boleh saja orang beranggapan demikian. Namun, pandangan itu bertentangan dengan kenyataan, dan berbagai peristiwa dalam sejarah umat manusia. Bahkan, Karl Marx menyatakan, agama justru diciptakan oleh penguasa demi kepentingan kekuasaan, yakni guna mengontrol rakyatnya. Menurut Magnis-Suseno dalam Wattimena (2019), agama membuat rakyat menjadi tenang dan pasif, sehingga sang penguasa bisa tetap berkuasa, dan bahkan bisa memperbesar kekuasaannya.
Selain Karl Mark, ada beberapa pemikir yang dapat menjelaskan hubungan antara agama dengan kekuasaan politik. Mereka adalah Antonio Gramsci, Louis Althusser, dan Michel Foucault. Sama dengan budaya, agama dan kekuasaan adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan begitu saja. Dalam hal ini, mengikuti Marx, kita bisa melihat masyarakat dalam terang teori kekuasaan, yakni dalam soal hubungan-hubungan sosial dan pengaruh kekuasaan di dalamnya. Marx menegaskan, bahwa hubungan-hubungan ekonomi merupakan penentu dasar bentuk sebuah masyarakat.
Dalam sejarah perkembangan umat manusia, agama selalu bersinggungan dengan kekuasaan. Agama menjadi pembenaran bagi kekuasaan, sekaligus sang penguasa turut mengembangkan agama yang mendukungnya. Dalam arti ini, agama adalah ideologi. Seperti dinyatakan oleh Marx, agama adalah hasil dari hubungan-hubungan ekonomi yang dibentuk oleh penguasa. Lalu, agama menjadi alat pembenaran bagi hubungan-hubungan ekonomi tersebut, sehingga turut mendukung penindasan dan ketidakadilan yang sudah ada. Gramsci dan Althusser melihat, bagaimana orang-orang yang ditindas menginternalisasi penindasan, sehingga mereka melihatnya sebagai normal, bahkan ikut mendukungnya. Foucault melihat pola yang lebih rumit, yakni hubungan antara kekuasaan, wacana, dan pengetahuan yang akhirnya membenarkan kekuasaan yang ada (Wattimena, 2019).
Di atas panggung politik dan kehidupan masyarakat sehari-hari, sangat nyata adanya hubungan antara agama dengan kekuasaan politik. Menurut Iqnas Kleden (2000), terdapat beberapa kemungkinan hubungan antara agama dengan kekuasaan politik. Di antaranya adalah, pertama, kekuasaan dan ideologi selalu saling mengandaikan, karena tidak ada ideologi yang tidak mempunyai muatan kekuasaan. Kedua, agama sebagai suatu lembaga cenderung mempunyai kekuasaan yang dalam proses sosial diperluas menjadi kekuasaan dunia, dan kekuasaan dunia diperluas ke dalam daerah kekuasaan agama.
Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pilpres 2019 yang lalu, menjadi contoh yang sangat jelas bagaimana penggunaan sentimen agama untuk meraih kekuasaan politik. Tidak hanya untuk merebut kekuasaan, pendekatan agama pun dapat juga digunakan untuk mempertahankan kekuasaan politik. Tidak hanya itu, jabatan publik dan strategis negara seakan semua harus diisi atas dasar pertimbangan keterwakilan agama tertentu. Pada Pilkada serentak 2024, Pemilu dan Pilpres 2024 yang akan datang pun, tampaknya belum ada tanda-tanda terbebas dari politik identitas berdasarkan agama dan penggunaan agama untuk merebut kekuasaan politik.
Agama dan Ideologi
Apa yang salah penggunaan isu dan sentimen agama untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan politik? Tentu saja tidak ada yang salah manakala agama berperan pada dimensi religius, yakni bertalian dengan perihal kesucian, kesempurnaan diri, dan perbuatan amal kasih. Tidak ada yang salah pula jika agama berperan sebagai fungsi kontrol agar kekuasaan politik digunakan untuk kebaikan bersama seperti menciptakan kedaiaman, kerukunan, dan harapan.
Menjadi masalah ketika agama digunakan atau terlibat dalam kegiatan politik praktis. Menjadi persoalan jika agama digunakan untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan seperti memobilisasi massa, serta mempengaruhi dan mengubah pandangan politik seseorang berdasarkan pandangan agama secara picik. Ajaran-ajaran agama dicomot di luar konteks atau dipelintir untuk kepentingan membenarkan atau menyalahkan pandangan politik tertentu.
Ketika agama terlibat atau digunakan dalam persoalan politik praktis, maka sebenarnya ia telah jatuh ke dalam ideologi. Sebagaimana diungkapkan oleh Malory Nye dalam Wattimena (2019), agama sebagai ideologi adalah kesadaran palsu (falsches bewusstsein). Ideologisasi (agama) adalah upaya untuk mengaburkan kenyataan, sehingga kebenaran menjadi tertutup oleh kepalsuan demi kekuasaan politik.
Di tangan elite politik dan tokoh-tokoh agama yang terlibat dalam politik praktis, agama telah menjadi tabir yang menutupi sejarah dan realitas sosial yang sesungguhnya. Sebagai ideologi, agama dapat menjadi pembenaran terhadap kekuasaan politik yang korup, atau sebagai alat untuk menghimpun massa, serta mempengaruhi dan mengubah pandangan politik seseorang untuk merebut kekuasaan.
Pembusukan Agama
Ketika kekuasaan politik yang korup menggunakan isu dan sentimen agama secara picik, maka sebenarnya sedang terjadi pembusukan terhadap agama dan kekuasaan itu sendiri. Pembusukan akibat hubungan antara agama sebagai ideologi dengan politik praktis mewujud dalam bentuk hilangnya sikap kritis, menurunnya akal sehat, dan lemahnya budaya akademik. Banyak orang menjadi malas belajar, serta sulit menerima perbedaan pendapat dan pandangan politik. Banyak orang cenderung percaya begitu saja, tanpa sikap kritis jika telah berlabel agama atau menurut pendapat tokoh agama tertentu. Pembusukan akibat hubungan antara agama sebagai ideologi dengan politik praktis tampak dari penyeragaman cara berpikir dan pilihan politik masyarakat.
Hubungan antara agama sebagai ideologi dengan politik praktis juga menyebabkan sebagian orang semakin intoleran dan radikal. Betapa menyakitkan, dulu Indonesia yang dikenal sebagai negeri yang ramah dan harmonis dengan sejumlah berbedaan, kini justru dituding sebagai negara intoleran dan sarang teroris. Survei lembaga studi Center of Strategic and International Studies (2012) menyimpulkan, toleransi beragama masyarakat Indonesia tergolong rendah. Sebanyak 68,2 persen responden menolak kelompok masyarakat berbeda agama mendirikan tempat ibadah di lingkungan mereka. Selain itu, sebanyak 80 persen responden setuju agar semua restoran ditutup pada bulan Ramadhan.
Peristiwa persekusi, aksi teror, dan anarkisme dengan mengerahkan massa dari kelompok agama tertentu dalam beberapa tahun terakhir menguatkan dugaan telah terjadi radikalisasi agama. Penelitian Balai Litbang Agama Makassar (2016) terhadap 1.100 siswa SMA/SMK melaporkan, ada potensi intoleransi dan radikalisme di kalangan pelajar. Sebanyak 10 persen pelajar berpotensi melakukan tindakan radikal. Penelitian Wahid Foundation bekerja sama dengan LSI (2016) terhadap 1.520 siswa di 34 provinsi melaporkan, 7,7 persen siswa bersedia melakukan tindakan radikal. Penelitian Setara Institut (2015) terhadap siswa SMA di Bandung dan Jakarta menyebutkan, sebanyak 7,2 persen siswa setuju dan tahu dengan paham ISIS.
Kekuasaan politik yang diraih atau dipertahankan dengan menggunakan agama sebagai ideologi cenderung korup. Agama sebagai ideologi yang membutakan realitas dan menghilangkan sikap kritis masyarakat, menyebabkan suburnya korupsi dan fungsi kontrol demokratis. Hampir setiap hari rakyat disuguhi berita pejabat pemerintah terjerat kasus korupsi. Hingga Desember 2016, setidaknya ada 122 orang anggota DPR dan DPRD terlibat kasus korupsi. Menurut Mendagri Tjahyo Kumolo, antara tahun 2004 hingga 2017 sedikitnya ada 313 kepala daerah menjadi tersangka kasus tindak pidana korupsi. Dari kurun waktu 13 tahun itu, sebanyak 56 kepala daerah telah menjadi terpidana untuk kasus yang sama.
Batas Pemisah
Hubungan parasitisme antara agama sebagai ideologi dengan kekuasaan politik, hendaklah segera diakhiri. Tidak hanya menyebabkan suburnya korupsi dan pembodohan masyarakat, tetapi juga mempertajam intoleransi dan radikalisme. Radikalisme tidak hanya menyebabkan konflik dan perpecahan horizontal di tengah masyarakat, tetapi juga bisa berkembang menjadi aksi terorisme atas dasar agama tertentu yang akan mengancam keutuhan bumi Pancasila sebagai rumah bersama kita.
Walaupun Indonesia bukan negara sekuler, namun antara agama dan kekuasaan politik hendaknya dibangun batas pemisah yang tegas. Agama harus kita jaga agar tidak terjatuh sebagai ideologi untuk kepentingan kekuasaan politik. Agama hendaknya semakin memperbesar fungsi kenabian, kesucian, dan amal salehnya. Dengan posisi ini, agama justru berfungsi kritis terhadap kekuasaan politik yang mempunyai kecenderungan korup.
Agama dapat berfungsi mengawal kekuasaan politik untuk mewujudkan kebaikan bersama. Agama bisa menjadi penyumbang nilai-nilai moral yang berharga terhadap kekuasaan politik. Dengan menjaga dan memisahkan agama dari hingar bingar kekuasaan politik, maka agama dapat menjadi benteng sosial demi kebaikan bersama sebagaimana keberadaannya. Secara sosial, agama juga dapat menjadi penjaga integrasi, kerukunan, kedamaian, dan harapan masyarakat. ***
(Primus Supriono, Ketua DPC Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia Kabupaten Klaten)