LenteraJateng, SEMARANG – Ada dua faktor sulitnya ajak disabilitas partisipasi dalam Pemilu. Menurut Anggota KPU Jawa Tengah Divisi Data dan Informasi Paulus Widiyantoro, ada beberapa keluarga disabilitas yang tidak mau di data dan keluarga menyembunyikannya. Faktor lainnya, adalah adanya perbedaan persepsi mengenai jenis disabilitas dari penyelenggara pemilu teknis dengan pengawasan.
“Kadang ada perbedaan data antara KPU dengan Bawaslu. Contohnya pada tuna rungu yang masih bisa berbicara dan beraktifitas normal, kemudian tuna netra yang masuk kategori penglihatan lemah. Hal ini yang menimbulkan perbedaan persepsi antar penyelenggara,” kata Paulus saat webinar “Mendorong Terciptanya Pemilu yang Ramah Pemilih Disabilitas Pada Pemilu/Pilkada Serentak 2024”, Jumat (26/11/2021) yang diselenggarakan oleh Bawaslu Kota Semarang.
Ia mengakui belum menemukan formula terkait template dalam Pemilu dan Pilkada, karena dalam pembuatan template juga harus melibatkan kaum disabilitas. Contohnya dalam penerimaan penyelenggara, harus ada keterwakilan dari penyandang disabilitas. Dan pada tahap sosialisasi pemilihan lanjutnya, disabilitas menjadi sasaran khusus.
“Ke depannya akan membuat road map keramahan disabilitas dalam Pemilu/Pilkada 2024,” tambahnya.
Koordinator Divisi Pengawasan dan Hubungan Antar Lembaga Bawaslu Provinsi Jawa Tengah Anik Sholihatun mengatakan, penyandang disabilitas telah diatur dalam pasal 5 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Perkembangan untuk memberikan sarana dan prasarana kepada kelompok ini sudah ada tapi masih perlu ditingkatkan lagi agar terus membaik.
“Dari jumlah pemilih disabilitas yang menggunakan hak pilihnya hanya sebanyak 20.054 atau 35,7 persen dari total pengguna hak pilih. Harapannya, pada pemilu 2024 lebih meningkat lagi,” tuturnya.
Ada Praktek Pemilu Baik untuk Disabilitas
Ketua Sejiwa Foundation Yuktiasih Proborini menambahkan, praktek Pemilu yang baik untuk disabilitas telah dilakukan yaitu berkaitan dengan data, aksesibilitas, relawan demokrasi, dan jemput bola pemilih. Berkaitan dengan aksesibilitas, Kota Semarang sudah melakukannya dengan sangat baik, contohnya adalah cara pengecekan suhu badan yang dapat disesuaikan dengan tinggi badan disabilitas saat pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2020 lalu.
“Berkaitan dengan disabilitas mental yang sedikit rumit, karena harus menyediakan surat dokter untuk ikut serta sebagai pemilih,” tambahnya.
Yuktiasih berharap Bawaslu dan KPU dapat melibatkan peran serta partai politik dalam hal advokasi para penyandang disabilitas.
Webinar ini diikuti oleh 75 peserta dari Bawaslu pusat, Jawa Tengah dan Kota Semarang, KPU Jawa Tengah penyandang disabilitas, serta masyarakat umum. Bawaslu Kota Semarang menyelenggarakan webinar Kegiatan ini membahas mengenai praktek inklusi bagi penyandang disabilitas yang telah banyak diupayakan.
Editor : Puthut Ami Luhur