LenteraJateng, SEMARANG – Ratusan warga eks pemilik lahan yang terdampak dari proyek pembangunan PLTU Batang, menggelar aksi unjuk rasa di depan kantor DPRD Jateng. Mereka adalah warga yang tergabung dalam Forum Masyarakat Terdampak Ujungnegoro-Karanggeneng-Ponowareng (FORMAT-UNGKAPNO).
Koordinator aksi Darsani menyampaikan, warga berunjuk rasa di depan kantor DPRD Jateng untuk mengadu terkait pembangunan proyek PLTU Batang. Pihaknya meminta DPRD Jateng agar bisa memperjuangkan keadilan masyarakat mengenai kesetaraan harga dalam pembebasan lahan.
“Gedung Sekretariat Dewan ini adalah rumah rakyat yang selalu terbuka untuk memperjuangkan keadilan bagi Masyarakat Jawa Tengah,” katanya, di sela-sela aksi, Kamis Kamis (30/6/2022).
Pihaknya memastikan, warga datang ke DPRD tidak semata-mata untuk menolak PLTU Batang, justru mendukung adanya proyek tersebut. Namun permintaan warga, yakni kesetaraan harga yang dibeli PLTU Batang.
“Kami tetap mendukung operasional PLTU Batang. Ini merupakan komitmen warga untuk mendukung program pemerintah, menjamin pasokan listrik untuk memenuhi kebutuhan pembangunan dan masyarakat,” katanya.
Darsani mencatat, perjalanan awal pendirian PLTU Batang pada 2012 lalu, yang pengerjaannya oleh PT Bhimasena Power Indonesia (BPI) dengan konsorsium PT Adaro Power, J-Power dan Itochu, membuat masyarakat mengalami permasalahan sosial. Sayangnya PT BPI selalu abai dengan pendakatan pendekatan, sehingga rawan perpecahan. Masyarakat terpecah, antara yang pro dan kontra pembangunan PLTU Batang.
Kerukunan dan Keharmonisan Masyarakat Tercabut, Warga Format Ungkapno Tuntut Kesetaraan Harga
“Kerukunan dan keharmonisan hubungan sosial masyarakat, seketika hilang di Desa Ujungnegoro, Karanggeneng dan Ponowareng. Kondisi ini masyarakat alami lebih dari satu tahun,” tuturnya.
Ironisnya saat pembebasan lahan milik masyarakat, perusahaan tidak memberikan ruang untuk musyawarah mufakat. Melainkan PT BPI selalu memberikan intimidasi dan paksaan kepada warga pemilik lahan secara door to door, yang tak kenal waktu.
Bahkan menurut Darsani, warga juga tidak mendapat kesempatan untuk menawarkan harga tanah kepada PT BPI. Karena penetapan harga beli lahan yang punya hak adalah perusahaan. Artinya, PT BPI terkesan semena-mena saat melakukan pembebasan lahan milik warga.
“Tidak pernah ada mekanisme musyawarah dan mufakat antara warga pemlik lahan dengan PT BPI,” tuturnya.
Terkait penetapan harga beli lahan milik masyarakat, PT BPI secara sepihak menetapkan harga sebesar Rp 100 ribu per meter persegi.
Darsani menyebut, hal ini warga tidak bisa tawar menawar lantaran harga menurut PT BPI sudah final. Nyatanya di lapangan, janji tersebut tidak terpenugi dan ada beberapa lahan sebesar Rp 400 ribu per meter persegi.
Pada saat itu, pemilik disuruh untuk merahasiakan transaksi dengan harga beli yang empat kali lebih besar dan janji dan komitmen PT BPI saat sosialisasi dengan warga. Hal itu menunjukkan perusahan penuh rekayasa dan manipulatif.
“Dulu kami tidak memiliki bukti dan saksi. Saat ini kami mempunyai bukti dan saksi yang kuat secara hukum, untuk memperjuangkan keadilan, Tuntutan kesetaraan harga beli lahan yang kami ajukan kepada PT BPI, tidak akan berhenti sampai pada aksi damai kami hari ini,” tuturnya.
Editor: Puthut Ami Luhur