Pemilihan umum (Pemilu) merupakan gelaran pesta demokrasi lima tahunan yang diselenggarakan di Indonesia. Hajatan ini, merupakan tonggak penting bagi Indonesia yang berfungsi sebagai fondasi demokrasi, di mana warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh hak memilih maupun dipilih serta menyampaikan suara.
Namun, agar dalam proses pelaksanaan Pemilu dapat berjalan dengan baik serta demokratis, penting untuk memastikan bahwa proses tersebut berjalan secara adil, jujur, serta transparan, diperlukan pengawasan yang efektif serta fundamental.
Pengawasan Pemilu sebenarnya adalah proses memantau, memeriksa, dan mengevaluasi seluruh tahapan, mulai dari tahapan pencocokan data pemilih, pendaftaran, kampanye, hingga perhitungan suara. Tujuan dari pengawasan Pemilu tidak lain adalah untuk mencegah kecurangan maupun pelanggaran dalam proses pemilihan, serta memastikan pemilu berjalan dengan bebas, jujur dan adil.
Berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, terdapat tiga kategori pelanggaran, yakni kode etik penyelenggara, pelanggaran administratif yang meliputi tata cara, prosedur, atau mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan tahapan, serta yang terakhir adalah pelanggaran tindak pidana.
Pada saat mendekati masa Pemilu, para elite politik atau kontestan saling berlomba -lomba untuk mendapatkan simpati dari masyarakat umum dengan cara apapun, tidak terkecuali menggunakan cara yang tidak benar dalam tahapan serta melanggar aturan dalam kepemiluan, seperti politik uang maupun kampanye hitam. Dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu pasal 282 sampai pasal 284, bahwasanya setiap orang yang memberikan atau menerima uang, barang, atau fasilitas lainnya untuk mempengaruhi hasil pemilihan umum dapat dikenakan sanksi pidana.
Politik uang memiliki potensi yang sangat merugikan negara dikarenakan bersifat transaksional dan memiliki kecenderungan untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan sebelumnya, serta mencederai kedewasaan demokrasi bangsa. Sama halnya dengan kampanye hitam, adanya penyebaran berita yang tidak benar serta penggunaan media sosial yang tidak bijak oleh oknum tertentu terhadap lawan politik, dapat menyebabkan kekisruhan dalam masyarakat serta dapat menimbulkan ketidakadilan dalam pemilihan umum.
Pada dasarnya, pengawasan terhadap tahapan Pemilu secara kelembagaan juga diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017, disebutkan Badan Pengawas Pemilu yang selanjutnya disebut Bawaslu adalah lembaga Penyelenggara Pemilu yang mengawasi Penyelenggaraan Pemilu di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Juga dalam Peraturan Bawaslu Nomor 20 Tahun 2018, pencegahan pelanggaran dan sengketa proses pada tahapan penyelenggaraan Pemilu menjadi tanggung jawab bersama Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota serta dibantu oleh Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa, Panwaslu LN, dan Pengawas TPS.
Selanjutnya jika melihat pasal 4 Peraturan Bawaslu juga menyebutkan mengenai pencegahan pelanggaran Pemilu, yang meliputi identifikasi serta pemetaan potensi kerawanan pemilu. Bawaslu juga berperan dalam mengkoordinasikan, mensupervisi, membimbing, memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan pemilu dengan berkoordinasi dengan stakeholder serta shareholder pemerintah.
Selain itu, Bawaslu juga harus berupaya meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengawasan Pemilu atau pengawasan partisipatif, sehingga terbentuk sebuah kolaborasi antara Bawaslu sebagai lembaga dengan lapisan masyarakat yang menjadikan pengawasan proses pemilu maupun pilkada melibatkan peran serta masyarakat.
Dalam konteks ke-Indonesiaan, partisipasi dalam pengawasan Pemilu yang paling efektif salah satunya adalah menggandeng tokoh agama yang memiliki pengaruh signifikan dalam berbagai aspek kehidupan, sosial, pendidikan, dan politik. Jika dalam pengawasan tahapan Pemilu, Bawaslu berhasil bersinergi bersama tokoh agama, maka peran Bawaslu sebagai pengawas Pemilu dalam hal ini membimbing masyarakat dapat berpotensi meminimalisir pelanggaran.
Tokoh agama dalam peranannya di masyarakat, dapat memberikan pendidikan mengenai Pemilu yang sejalan dengan dogma keagamaan. Politik uang misalnya, tokoh agama dapat memaparkan bahwasanya politik uang tidak sejalan dengan dogma agama, apalagi kampanye hitam dengan berbagai fitnah serta menjadikan permusuhan di kalangan masyarakat.
Agama lewat tokoh keagamaan berperan sangat efektif dalam pendidikan politik untuk membangun Indonesia menjadi lebih baik, juga pernah disampaikan oleh founding father bangsa indonesia yakni Tan Malaka, dalam Madilog Tan pernah menyampaikan bahwasanya dogma lewat tokoh agama jangan hanya sebatas dijadikan alat untuk propaganda kolonialisme untuk menindas bangsa. Terbukti para tokoh agama serta pengikutnya bersama-sama melawan penindasan kolonialisme pada masanya.
Jika kita melihat kontestan dalam Pemilu di Indonesia banyak diikuti oleh tokoh agama. Maka dengan bersinergi bersama tokoh agama propaganda yang mengarah kepada potensi pelanggaran dapat diminimalisir sekecil mungkin lewat pendidikan politik yang sejalan dengan dogma agama.
Pada akhirnya penyelenggaraan Pemilu haruslah dibangun bersama, masa depan dan arah bangsa ditentukan oleh suksesnya pelaksanaan pesta lima tahunan ini. Sehingga prinsip kejujuran, keadilan, serta integritas dalam pemilu seyogyanya dapat melahirkan calon wakil rakyat serta pemimpin bangsa yang memiliki moralitas baik, dipenuhi ide dan gagasan bagus untuk membangun bangsa, serta bertanggung jawab mengemban amanah rakyat.
*Muhammad Atho’illah, Anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Kendal, Jawa Tengah