LENTERAJATENG, JAKARTA – Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD angkat bicara menanggapi putusan Pengandilan Negeri Jakarta Pusat yang meminta KPU menunda tahapan Pemilu.
Menurut Mahfud, putusan yang dilakukan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat dinilai membuat sensasi yang berlebihan.
“Masak, KPU divonis kalah atas gugatan sebuah partai dalam perkara perdata oleh PN. Bahwa vonis itu salah, logikanya sederhana, mudah dipatahkan tapi vonis ini bisa memancing kontroversi yang bisa mengganggu konsentrasi. Bisa saja nanti ada yang mempolitisir seakan-akan putusan itu benar,” tulisnya dikutip dari akun Instagram miliknya, Jumat (3/3/2023).
Atas putusan PN Jakpus tersebut, ia meminta KPU naik banding dan melawan habis-habisan secara hukum.
Pasalnya, PN tidak memiliki kewenangan dalam memutus perkara tersebut.
“Kalau secara logika hukum pastilah KPU menang. Mengapa? Karena PN tidak punya wewenang untuk membuat vonis tersebut,” jelasnya.
Dijelaskan Mahfud, ada sejumlah alasan hukum sehingga putusan PN Jakarta pusat harus dilawan, yaitu:
Pertama, sengketa terkait proses, administrasi, dan hasil pemilu itu diatur tersendiri dalam hukum. Kompetensi atas sengketa pemilu bukan di Pengadilan Negeri. Sengketa sebelum pencoblosan jika terkait proses admintrasi yang memutus harus Bawaslu tapi jika soal keputusan kepesertaan paling jauh hanya bisa digugat ke PTUN.
“Nah Partai Prima sudah kalah sengketa di Bawaslu dan sudah kalah di PTUN. Itulah penyelesaian sengketa administrasi jika terjadi sebelum pemungutan suara. Adapun jika terjadi sengketa setelah pemungutan suara atau sengketa hasil pemilu maka menjadi kompetensi Mahkamah Konstitusi (MK). Itu pakemnya. Tak ada kompetensinya Pengadilan Umum. Perbuatan Melawan Hukum secara perdata tak bisa dijadikan obyek terhadap KPU dalam pelaksanaan pemilu,” ungkapnya.
Kedua, hukuman penundaan pemilu atau semua prosesnya tidak bisa dijatuhkan oleh PN sebagai kasus perdata. Tidak ada hukuman penundaan pemilu yang bisa ditetapkan oleh PN.
Menurut UU, kata dia, penundaan pemungutan suara dalam pemilu hanya bisa diberlakukan oleh KPU untuk daerah-daerah tertentu yang bermasalah sebagai alasan spesifik, bukan untuk seluruh Indonesia.
Misalnya, di daerah yang sedang ditimpa bencana alam yang menyebabkan pemungutan suara tak bisa dilakukan. Itu pun bukan berdasar vonis pengadilan tetapi menjadi wewenang KPU untuk menentukannya sampai waktu tertentu.
“Ketiga, menurut saya, vonis PN tersebut tak bisa dimintakan eksekusi. Harus dilawan secara hukum dan rakyat bisa menolak secara masif jika akan dieksekuasi. Mengapa? Karena hak melakukan pemilu itu bukan hak perdata KPU,” terangnya.
Keempat, penundaan pemilu hanya karena gugatan perdata parpol bukan hanya bertententang dengan UU tetapi juga bertentangan dengan konstitusi yang telah menetapkan pemilu dilaksanakan 5 tahun sekali.
“Kita harus melawan secara hukum vonis ini. Ini soal mudah, tetapi kita harus mengimbangi kontroversi atau kegaduhan yang mungkin timbul,” tandasnya.
Diberitakan sebelumnya, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat membuat heboh publik setelah mengabulkan gugatan Partai Prima.
Sidang gugatan itu diputusan PN Jakpus pada Kamis (2/3/2023).
Dalam putusannya, PN Jakpus mengabulkan seluruhnya gugatan Partai Prima terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan menghukum KPU untuk menunda tahapan Pemilu.
“Amar putusannya tidak melaksanakan sisa tahapan pemilu. Silakan dipelajari putusannya ya,” terang Pejabat Humas PN Jakpus, Zulkifli Atjo dikutip dari Sinpo.id.
Meski demikian, ia mengatakan bahwa putusan itu belum memiliki kekuatan hukum tetap. Sehingga KPU masih mempunyai hak untuk melakukan banding.
“Perkara ini adalah gugatan biasa diajukan dengan perdata sehingga hukum acaranya putusan ini belum mempunyai kekuatan hukum tetap,” jelasnya.
“Jadi setelah itu kita tunggu putusan bandingnya seperti apa,” lanjutnya.