LENTERAJATENG, SOLO – Pemerintah resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 2 Tahun 2022 tentang UU Cipta Kerja.
Padahal, Mahkamah Konstitusi pada 25 November 2021 melalui Putusan No. 91/PUU-XVIII/2020 telah menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.
Atas penerbitan Perpu oleh pemerintah itu, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) angkat bicara.
Ketua Umum YLBHI Muhamad Isnur dalam keterangan resminya mengatakan, penerbitan Perpu Cipta Kerja dinilai sebagai bentuk pembangkangan terhadap konstitusi.
“Kami menilai penerbitan Perpu ini jelas bentuk pembangkangan, pengkhianatan atau kudeta terhadap Konstitusi RI, dan merupakan gejala yang makin menunjukkan otoritarianisme pemerintahan Joko Widodo. Ini semakin menunjukkan bahwa Presiden tidak menghendaki pembahasan kebijakan yang sangat berdampak pada seluruh kehidupan bangsa dilakukan secara demokratis melalui partisipasi bermakna (meaningful participation) sebagaimana diperintahkan MK,” tulisnya seperti dikutip, Sabtu (31/12/2022).
Disampaikannya, melalui Perpu itu presiden justru menunjukkan bahwa kekuasaan ada di tangannya sendiri, tidak memerlukan pembahasan di DPR, tidak perlu mendengarkan dan memberikan kesempatan publik berpartisipasi.
Hal ini, lanjutnya, jelas bagian dari pengkhianatan konstitusi dan melawan prinsip-prinsip negara hukum yang demokratis.
“Penerbitan Perpu ini jelas tidak memenuhi syarat diterbitkannya Perpu yakni adanya hal ihwal kegentingan yang memaksa, kekosongan hukum, dan proses pembuatan tidak bisa dengan proses pembentukan UU seperti biasa,” jelasnya.
Oleh karena itu, kata dia, Presiden seharusnya mengeluarkan Perpu Pembatalan UU Cipta Kerja sesaat setelah UU Cipta Kerja disahkan, karena penolakan yang massif dari seluruh elemen masyarakat.
“Tetapi, saat itu Presiden justru meminta masyarakat yang menolak UU Cipta Kerja melakukan judicial review. Saat MK memutuskan UU Cipta Kerja inkonstitusional, Presiden justru mengakalinya dengan menerbitkan Perpu,” ungkapnya.
Menurutnya, perintah Mahkamah Konstitusi jelas bahwa Pemerintah harus memperbaiki UU Cipta Kerja, bukan menerbitkan Perpu.
Adapun alasan dampak perang Ukraina-Rusia dan ancaman inflasi dan stagflasi yang membayangi Indonesia dinilainya mengada-ada dan tidak masuk akal dalam penerbitan Perpu ini.
“Alasan kekosongan hukum juga alasan yang tidak berdasar dan justru menunjukkan inkonsistensi dimana pemerintah selalu mengklaim UU Cipta Kerja masih berlaku walau MK sudah menyatakan inkonstitusional,” tandasnya.
Maka, atas penerbitan Perpu tersebut YLBHI menyatakan sikap sebagai berikut:
- Mengecam penerbitan PERPU No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja;
- Menuntut Presiden melaksanakan Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 dengan melakukan perbaikan UU Cipta Kerja dengan syarat-syarat yang diperintahkan MK;
- Menarik kembali PERPU No. 2 Tahun 2022;
- Menyudahi kudeta dan pembangkangan terhadap Konstitusi.
- Mengembalikan semua pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai dengan Prinsip Konstitusi, Negara Hukum yang demokratis, dan Hak Asasi Manusia.