Oleh: Thio Hok Lay S.Si*)
Kata dan laku seorang pendidik (guru) memengaruhi kualitas tumbuh kembang seorang anak murid menjadi manusia dewasa secara utuh. Anak murid akan tumbuh menjadi penabur benih-benih kedamaian yang menghidupkan atau keangkaramurkaan yang membinasakan bermula dari proses menyimak kata dan meneladani laku sang guru.
Proses pendidikan tak hanya menghasilkan pribadi-pribadi yang berpikiran tajam, namun berperasaan tumpul. Tidak pula bertujuan mencetak pribadi yang terlalu sibuk menghitung sehingga lupa untuk sejenak merenung perihal nasib perjalanan bangsa ke depan.
Wimar Witoelar (2014) dalam bukunya ‘Sweet Nothing’, menuliskan tragedi di Indonesia adalah problem rakyat biasa yang makin lama makin parah, sedangkan kelas menengah dan kelas atas makin tidak peka. Tak jarang, saat seorang masuk terkategorikan dalam kelas menengah atau atas, maka lepaslah hubungannya dengan budaya rakyat biasa. Culture gap yang melahirkan culture shock.
Dalam rangka memaknai 100 tahun Taman Siswa (1922 – 2022), penulis melakukan kajian kritis atas pemikiran, konsepsi, keteladanan, dan sikap merdeka dari Ki Hadjar Dewantara, khususnya terkait seputar “Pendidikan dan Kebudayaan.”
Ki Hadjar Dewantara mengartikan pendidikan sebagai usaha kebudayaan, berazas keadaban, yakni memajukan hidup agar mempertinggi derajat kemanusiaan. Lebih lanjut, kebudayaan (kultur kemanusiaan) diartikan sebagai semua benda buatan manusia (benda batin atau benda lahir) yang dapat timbul sebagai kemasakan buah budi manusia, meliputi; Kehalusan perasaan (rasa), kecerdasan pikiran (cipta), dan kekuatan kehendak (karsa).
Sebaliknya, ketidakseimbangan dan ketidakutuhan dalam proses pendidikan, berpotensi melahirkan sikap dan sifat individualisme dan egoisme (angkara murka) yang menggerus suasana tertib damai dan keamanan dunia.
Dalam konteks kekinian, fenomena keangkaramurkaan tersebut terekspresikan melalui aneka tindak kekerasan (perundungan) dalam dunia pendidikan. Kemendikbud memotret tiga dosa besar pendidikan di tanah air, yakni intoleransi, kekerasan seksual, dan perundungan (bullying) yang marak terjadi di jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Sekolah Dasar dan Menengah.
Merujuk pemikiran Ki Hadjar Dewantara (1928) terkait pengajaran, pengajaran nasional haruslah bersifat kebangsaan. Kalau pengajaran tidak berdasarkan kenasionalan, anak-anak tak mungkin mempunyai rasa cinta bangsa, dan makin lama makin terpisah dari bangsanya, kemudian barangkali menjadi lawan kita.
Terkonfirmasi melalui fenomena aksi laten terorisme yang mengganggu ketertiban, keamanan dan kedamaian bangsa dan dunia. Tak sedikit pakar yang menyatakan bahwa akar utama dari aksi terorisme terkait erat dengan kekerasan akibat kebodohan dan kemiskinan.
Jika benar demikian halnya, berharap melalui implementasi Kurikulum Merdeka, plus profil pelajar Pancasila yang diusung diharapkan membawa angin segar perubahan sebagai langkah konkret dan efektif guna melakukan penguatan pendidikan karakter, sekaligus upaya untuk menangkal aksi laten terorisme di kemudian hari.
Saat ini, Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas), sementara dikaji, dikoreksi secara seksama oleh para pakar dan organisasi yang kompeten di bidangnya, guna disempurnakan mengingat pendidikan dan pengajaran merupakan kepentingan bersama bangsa dan negara.
Sebagai produk hukum, sekaligus produk budaya, RUU Sisdiknas seyogianya dirumuskan dan disusun dengan ekstra teliti, serapi dan selengkap mungkin dengan melibatkan beragam anasir, dimana prosesnya membutuhkan pemikiran dan wawasan yang mendalam dan luas, serta waktu dan usaha jangka panjang. Jangan tergesa apalagi sampai dikebiri menjadi produk pemikiran dari segelintir elit politik, hanya untuk kepentingan kelompok atau golongan tertentu. Ketergesa-gesaan hanyalah akan mendatangkan penyesalan di kemudian hari.
Pesan Ki Hadjar Dewantara sebagai Bapak Pendidikan Nasional perlu kita ingat dan sadari bersama bahwa kemerdekaan bangsa yang seutuhnya itu tidaklah semata-mata hanya kemerdekaan politik. Kemerdekaan politik akan terdesak, lenyap dan tidak berarti kalau tidak didasarkan atau disandarkan pada kemerdekaan kebudayaan.
Nantinya, UU Sisdiknas akan menjadi rujukan bagi aneka kebijakan turunan di bawahnya – dalam hal ini yang terkait secara khusus dengan pendidikan, di mana implementasi dari program dan aktivitas pendidikan akan berdampak langsung terhadap pemberdayaan dan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM).
Ringkasnya, hakikat pendidikan sebagai laku kultural senyatanya merupakan pondasi sekaligus pilar penyangga utama kemerdekaan bangsa secara utuh. Bertugas untuk merajut dan merawat ke-Bhineka-an dengan segala potensi yang dimiliki sebagai kekayaan bangsa, serta memampukan setiap anak-anak bangsa ini untuk dapat berdiri kokoh dan menegakkan kepala sebagai manusia-manusia yang bermartabat dan berderajat dalam kancah global.
Untuk itu, pastikan agar setiap perkataan dan tindakan dari para pengajar dan pendidik (guru) itu mempersatukan dan menghidupkan. Melalui penyelenggaraan dan pendampingan dalam Proses Belajar Mengajar (PBM) yang bermutu, kompetensi pengetahuan dan keterampilan anak murid diupayakan untuk terus bertumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi dan minat dirinya. Sampai detik ini, guru masih digugu dan ditiru.
*) Teaching Learning Curriculum Department, Yayasan Citra Berkat, Jakarta