LENTERAJATENG, JAKARTA – Lembaga Survei Indonesia (LSI) Denny JA mengungkapkan, adanya sentiment positif putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal Presidential Threshold.
Menurut Peneliti LSI Adjie Alfaraby, dari 7.079 percakapan mengenai isu tersebut yang diambil di media online terdapat 68,19 persen sentimen positif sedangkan 31,81 persen negatif.
Ia menganalisa, ada lima alasan mengapa masyarakat menanggapi isu positif keputusan MK soal Presidential Threshold.
Pertama, demokrasi yang lebih inklusif yaitu akan membuka pintu bagi semua partai politik untuk mencalonkan presiden.
Kemudian, masyarakat merasa suara mereka lebih didengar dengan penghapusan presidential threshold.
Adjie menyebut, berkaca dengan negara Jerman dan Perancis di mana ambang batas pencalonan presiden rendah atau tidak ada maka memungkinkan persaingan akan lebih luas.
“Contoh di Perancis, pada 2017 ada 11 calon presiden. Sedangkan di Jerman, memang sengaja didesain untuk menghindari kelompok ekstrim tertentu berkuasa,” kata Adjie.
Kedua, meningkatkan kompetisi politik di mana akan lebih sehat dan tidak didominasi partai besar dengan adanya penghapusan presidential threshold.
Dengan penghapusan ketentuan ini, akan memberi ruang bagi partai kecil atau menengah untuk menunjukkan visi dan program mereka.
“Kompetisi yang luas dapat meningkatkan kualitas demokrasi, contohnya di India,” tambahnya.
Ketiga, penghapusan presidential threshold akan memberikan kesempatan kepada pemimpin baru.
Figur-figur potensial dari partai kecil dapat tampil dan berperan, serta publik akan merasa optimis bahwa tokoh-tokoh alternatif dapat maju.
“Model tanpa threshold akan mendorong pemimpin alternatif, seperti di Italia di mana partai kecil mampu memunculkan pemimpin nasional,” tuturnya.
Keempat, hilangnya presidential threshold akan mengurangi politik transaksional walaupun sulit dibuktikan.
Presidential threshold yang sebelumnya sebesar 20 persen, mendorong koalisi antar partai besar yang tidak jarang didasarkan pada kompromi politik transaksional.
Dengan hilangnya presidential threshold, maka kandidat presiden dapat lebih fokus pada program dan visi tanpa harus “membayar mahal” untuk mendapatkan dukungan partai lain.
“Negara-negara seperti Swiss dan Kanada yang minim ambang batas, menunjukkan kompetisi terbuka cenderung minim korupsi dan lebih murni berdasarkan kompetensi kandidat,” tutur Adjie.
Kelima, tidak adanya lagi presidential threshold akan meningkatkan partisipasi publik dalam Pemilu. Alasannya, karena masyarakat akan memiliki pilihan yang lebih luas dan memberi rakyat alasan untuk merasa suara mereka benar-benar berarti.
“Tingkat partisipasi pemilih dapat meningkat secara signifikan, karena rakyat merasa lebih terlibat dalam menentukan arah bangsa. Di negara seperti Brasil, di mana pemilu sering memiliki banyak kandidat, tingkat partisipaso rakyat cenderung tinggi karena merasa memiliki banyak pilihan yang mewakili kebutuhan mereka,” tuturnya.
Frekuensi percakapan yang diambil dari media online dan media sosial, sejumah 7.079 terdiri dari 336 percakapan di X, berita 4.931, video 1.120, sedangkan sisanya dari Web, Tiktok, Facebook, blog, Podcast dan forum.
LSI Denny Ja menggunakan metodologi riset analisis isi komputasional, dengan mendeteksi topik dan sentiment publik berdasarkan kata kunci isu keputusan MK tentang presidential threshold dari 2 sampai dengan 7 Januari 2025.
Mereka, hanya memilih sentimen postif dan negatif saja sedangkan untuk sentimen netral tidak diambil. Riset juga dilengkapi dengan Analisa kualitatif berdasarkan Analisa pendapat ahli.