Kabupaten Magelang menyimpan banyak situs yang menjadi tonggak sejarah. Seperti sebuah situs yang berada di Dusun Canggal, Desa Kadiluwih, di Kecamatan Salam.
LENTERAJATENG, MUNGKID – Situs Canggal atau Candi Gunung Wukir menjadi salah satu prasasti penting dalam sejarah Indonesia. Candi bercorak Hindu ini merupakan peninggalan yang mencantumkan tahun pembuatan. Sehingga menjadi penanda waktu berkuasanya Kerajaan Medang di tanah Mataram.
“Situs Candi Gunung Wukir atau Candi Canggal, adalah candi bercorak Hindu yang ditemukan (bersama) Prasasti Canggal. (Prasasti ini) mencantumkan tahun pembuatannya, sehingga Prasasti Canggal menjadi tonggak sejarah, kini tersimpan di Museum Nasional Jakarta,” kata Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (Dispuspa) Kabupaten Magelang, Wisnu Budi Argo Budiono.
Dari Prasasti Canggal, para peneliti memperkirakan nama pendiri Candi Gunung Wukir adalah Raja Sanjaya. Selain itu, Raja Sanjaya juga pendiri Kerajaan Mataram Kuno sekaligus sebagai raja pertamanya. Pada zaman Kerajaan Mataram Kuno, dan Candi Gunung Wukir, terdapat empat candi, yaitu candi induk dan tiga candi perwara (pendamping) yang ada di depannya.
Dia membeberkan, Candi Wukir berada di atas bukit yang termasuk kawasan Dataran Kedu. Untuk menuju candi harus dicapai dengan berjalan kaki mendaki sekitar 300 meter dari Dusun Canggal, dan letaknya berada di dekat jalan yang menghubungkan antara Kecamatan Salam dengan Kecamatan Ngluwar, Kabupaten Magelang.
Masa Raja Sanjaya
Sejarah Candi Wukir, merupakan candi tertua yang dapat dihubungkan dengan penanggalan yang tertera pada suatu peninggalan sejarah. Berdasarkan prasasti Canggal yang ditemukan pada 1879 di reruntuhan candi Gunung Wukir, pendiriannya diduga pada masa pemerintahan raja Sanjaya dari zaman Kerajaan Mataram Kuno, yaitu pada 732 M (654 tahun Saka).
Prasasti itu memuat banyak informasi berkait dengan Kerajaan Medang atau Mataram Hindu. Berdasarkan prasasti ini, Candi Gunung Wukir diduga memiliki nama asli Shiwalingga di Kunjarakunja. Nama Gunung Wukir diambil dari nama bukit tempat candi ini berada yang dalam bahasa Jawa, berarti gunung atau bukit, sehingga nama ini sebenarnya reruntuhan.
Tempat reruntuhan candi, mempunyai ukuran 50×50 meter. Bangunan candi tersusun dari batu andesit, dan setidaknya terdiri atas satu candi induk dan tiga candi perwara. Selain prasasti, di kompleks candi juga ditemukan yoni, lingga (lambang dewa Siwa), dan arca lembu betina Nandi. Terdapat yoni besar yang berada di candi utama, dan dua yoni lebih kecil yang berada di candi perwara.
Berbahan Batu Andesit
Wisnu menyampaikan, berdasarkan catatan Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta, candi-candi tersebar di wilayah Jawa Tengah, khususnya Kabupaten Magelang umumnya terbuat dari batu andesit, yang biasa terdapat di sekitar gunung berapi. Bahan-bahan lain seperti batu putih hanya dipergunakan sebagai pelengkap, misalnya sebagai pagar keliling candi.
Batu-batu disusun tanpa adonan spesial, kecuali pada bagian tertentu di sisi luar. Setelah bentuknya tersusun, barulah hiasan-hiasan dipahatkan pada permukaannya yang rata. Pada saat ditemukan, sebagian besar candi berada dalam kondisi rusak berat. Bebatuan yang menjadi inti bangunannya berserakan di sejumlah tempat, terkadang hingga jauh dari tempatnya semula.
Bahkan, katanya, sebagian dari bebatuan candi yang bernilai sejarah itu telah berubah fungsi, seperti menjadi tanggul atau pondasi rumah penduduk yang bermukim di sekitarnya. Banyak alasan yang dikemukakan untuk menjelaskan kerusakan candi-candi di masa lampau, di antaranya adalah terjadinya bencana alam yang sangat dahsyat, seperti banjir, gempa bumi, atau letusan gunung berapi.
“Sayangnya, keadaan candi-candi dari batu andesit tersebut tidak lagi utuh, hanya menyisakan sedikit reruntuhan. Namun dari penemuan yoni dan arca Nandi (lembu), dapat diketahui bahwa Candi Gunung Wukir bercorak agama Hindu,” ujar Wisnu.
Peperangan dan perebutan kekuasaan, terang Wisnu, juga ditengarai menjadi penyebab kerusakan struktur bangunan candi. Dalam setiap peperangan, pusat-pusat pemerintahan kerajaan umumnya menjadi target untuk dibumihanguskan, dan candi sebagai bangunan suci pun tak luput dari pengrusakan dan penghancuran selama perang berlangsung.