LENTERAJATENG, SEMARANG – Tradisi gebyuran di Kampung Bustaman, Purwodinatan kembali digelar menjelang bulan Ramadan. Ritual tahunan yang berlangsung ratusan tahun ini, diikuti warga kampung, dari anak-anak hingga dewasa.
Acara diawali dengan arak-arakan dari ujung menuju tengah kampung. Setelah prosesi arak-arakan selesai, secara simbolis beberapa anak disucikan oleh orangtua. Kemudian dilanjutkan dengan ditabuhnya bedug musala Kampung Bustaman, momen saling perang air dimulai.
Anak-anak Kampung Bustaman mengawali Tradisi Gebyuran. (LENTERAJATENG/MARISKA BUNGA)
Air-air amunisi disiapkan di berbagai penjuru. Berbungkus plastik dan diberi warna-warna agar menarik.
Namun tak sedikit warga yang sengaja saling menyiram langsung menggunakan gayung dan ember. Tak ayal, riuhnya suasana perang air terasa hangat meski basah kuyup dari ujung kepala hingga kaki.
Warga terlihat sangat bersenang-senang selama tradisi Gebyuran ini berlangsung di sore hari ini. Suara gelak tawa anak-anak hingga para orang tua terdengar dari segala penjuru.
Tradisi Gebyuran di Kampung Bustaman telah berlangsung selama beberapa abad. Diawali oleh sesepuh kampung, Kiai Bustam sekitar tahun 1743.
Awalnya, tradisi ini hanya padusan seminggu menjelang bulan Ramadan. Padusan itu dengan mengguyur para cucu di depan sumur tua yang ada di Kampung Bustaman.
Bahkan 10 tahun yang lalu Tradisi Gebyuran Bustaman masih diselenggarakan dengan sederhana. Berawal hanya dari antar tetangga, kini seluruh warga kampung dari anak-anak hingga dewasa ikut saling melempar air.
Warisan Budaya Tak Benda, Tradisi Gebyuran Kampung Bustaman
Kini Tradisi Gebyuran Bustaman menjadi agenda kebudayaan rutin Kota Semarang. Bahkan telah diajukan menjadi warisan budaya tak benda.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang, R Wing Wiyarso menuturkan, pihaknya terus mengupayakan Tradisi Gebyuran Bustaman untuk dapat diakui menjadi warisan budaya tak benda (WBTB).
“Memang kemarin sudah dua kali kami usulkan, belum berhasil. Namun tentunya ke depan kami butuh support untuk data dukung apabila memiliki transkrip atau manuskrip sejarah ini bisa untuk memperkuat bahwa kegiatan ini merupakan prosesi tradisional yang sudah diusung dari berabad-abad yang lalu,” bebernya, usai mengikuti Gebyuran Bustaman, Minggu (23/2/2025).
Ia mengapresiasi warga Bustaman yang menyelenggarakan hajatan ini bisa tetap berjalan dengan baik. Wing menyebut, Pemkot Semarang berkomitmen untuk terus mendukung kegiatan tradisi.
“Gebyuran Bustaman ini nggak ada dimana-mana hanya ada di Semarang. Keren (muka) coret-coretan, ikut lempar-lemparan sampai basah,” tandasnya.