LENTERAJATENG, JEPARA – Pendekatan agama dirasa efektif untuk cegah perkawinan usia anak. Bahkan persoalan kawin anak ini masih marak terjadi di pesantren-pesantren.
Pera Sopariyanti, Direktur Rahimah menuturkan, perkawinan anak telah menjadi kultur yang terus menerus terjadi. Tokoh agama bahkan berperan memberikan legitimasi terhadap praktek ini.
“Seringkali persoalan kawin anak juga banyak di pesantren. Misalnya anak-anak yang belum selesai sekolah, kemudian ditarik orangtuanya (untuk menikah),” kata Pera, saat ditemui di Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) II di Jepara, (24/11/2022).
Karena itu, lanjut Pera, upaya pesantren dalam pencegahan kawin anak pun menjadi penting. Gunanya, untuk berdialog dengan para orangtua untuk mencegah perkawinan anak.
“Memberikan penyadaran agar anak-anak mempunyai kesempatan untuk mendapatkan hak pendidikannya dan menikmati kehidupan yang lebih baik,” lanjutnya.
Secara angka, Pera mengaku belum dapat memastikan besaran jumlahnya. Namun, berdasarkan diskusi bersama ulama perempuan, praktek perkawinan anak nyata terjadi di lingkungan pesantren bahkan hingga melakukan perjodohan sejak dini.
“Saya kira peran ulama perempuan sangat penting dalam konteks negara kita Indonesia yang mayoritas muslim. Argumentasi pendekatan agama menjadi pendekatan yang lebih mudah untuk diterima dalam membangun kesadaran,” tegasnya.
Ia menyadari betul bahwa praktek demikian di lingkungan pesantren yang masih sangat perlu diperjuangkan.
Peran Jaringan KUPI, Pendekatan Agama Untuk Cegah Perkawinan Usia Anak
Sejak terlaksananya KUPI pertama pada 2017 lalu, otoritas dan pengakuan terhadap hadirnya ulama perempuan mulai diterima di tengah masyarakat.
“KUPI ke-II temanya meneguhkan peran ulama perempuan dalam mewujudkan peradaban yang berkeadilan. Ini berkelanjutan dengan tema yang pertama yakni menunjukkan eksistensi keberadaan ulama perempuan,” beber Pera.
Secara filosofis, KUPI selalu melibatkan pesantren dan perguruan tinggi. Kedua lembaga ini menelurkan banyak ulama perempuan di Indonesia.
“Pesantren sebagai perwakilan pendidikan tradisional pertama di Indonesia inilah khazanah keislaman dikaji secara mendalam. Pesantren juga yang memproduksi ulama-ulama perempuan yang juga turut mewujudkan peradaban di Indonesia,” terangnya.
Dipilihnya Jepara sebagai tuan rumah perhelatan KUPI II ini bukan tanpa dasar. Jepara memiliki tokoh-tokoh perempuan yang legendaris.
“Ratu Kalinyamat, Ratu Shima, dan RA Kartini adalah tokoh-tokoh perempuan yang membangun peradaban untuk kemanusiaan. Kami menginternalisasi bagaimana peran-peran mereka dalam membangun peradaban, untuk menegaskan dan memperkokoh spirit ulama perempuan,” tutupnya.