LenteraJateng, BAWEN – Masyarakat Srumbung Gunung, Desa Poncoruso, Bawen, Semarang mencoba merajut pluralisme dan menciptakan desa wisata perdamaian. Dengan berbagai kepercayaan yang mereka anut, keragaman ini kemudian menjadi inspirasi untuk merajut pluralisme dan nilai-nilai perdamaian antar umat beragama serta alam semesta.
Di Srumbung Gunung, masyarakat menganut agama yang berbeda-beda, seperti Islam, Kristen, Katolik, bahkan penghayat kepercayaan seperti Sapta Dharma. Antar umat tersebut tetap hidup rukun dan masih mengedepankan gotong royong bersama.
Ketua Pokdarwis Desa Wisata Kreatif Perdamaian (DWKP) Srumbung Eko Widodo menyebut, inspirasi perdamaian didapatkan dari latar belakang masyarakat Srumbung Gunung yang beragam, namun tetap harmonis.
Nilai gotong royong yang masih kental dilakukan di Srumbung Gunung juga menjadi bumbu untuk konsep desa wisata kreatif perdamaian.
“Dari pluralisme dan berbagai macam agama ini kami terus punya gagasan untuk menyelaraskannya menjadi desa wisata. Tentunya desa wisata tersebut selaras dengan kearifan lokal,” kata Eko.
Perdamaian yang ia maksud juga tidak hanya berlaku bagi sesama manusia saja, tapi juga dengan alam semesta.
“Kami menonjolkan perdamaian. Bukan hanya perdamaian antar umat beragama atau antar manusia saja, tapi juga selaras dengan alam. Makanya kami juga menanam pohon, penghijauan, dan pembersihan area,” tuturnya.
Meski tidak semua agama terdapat di Srumbung Gunung, Eko mengaku telah berkolaborasi dengan daerah lain di wilayah Semarang.
“Kami belum ada Buddha dan Konghuchu. Namun, kami kolaborasi dengan teman-teman lainnya di Semarang. Jadi memang ini bukan hanya untuk desa wisata Srumbung Gunung saja, tapi harapannya berdampak juga ke mancanegara, ke dunia,” tuturnya.
Festival Sebagai Pendekatan Budaya, Merajut Pluralisme di Desa Wisata Perdamaian Srumbung Gunung
Sejak bertahun-tahun lalu, dusun Srumbung Gunung selalu menggelar kegiatan festival budaya. Sejak 2009, telah berlangsung Festival Jajanan Tradisional dan Festival Jaran Kepang.
“Ada Festival Jajanan dan Jaran Kepang, sampai 2020 harusnya ada, tapi posisinya kan pandemi. Semoga akan rilis di tahun ini bersama launching desa wisata kreatif perdamaian,” tuturnya.
Bersama Dinas Pariwisata setempat, pihaknya juga akan menyelenggarakan Bhinneka Festival pada Oktober nanti.
“Tampilan dari Bhinneka Festival terdiri dari bermacam-macam budaya. Bahkan dari komunitas luar daerah. Sudah ada yang mengkonfirmasi dari mahasiswa papua dan maluku juga,” tuturnya.
Selain itu, sebagai DWKP, pihaknya juga mengadakan Peace Camp yang mengusung konsep utama khas desa wisata perdamaian. Bagi para peserta camp akan terus ditekankan soal 12 nilai perdamaian.
“Kami kolaborasi dengan komunitas cipta damai (Kocipda). Sebelumnya sudah mengadakan peace camp di Sapta Darma di Sumowono dan Susukan. Rencana sedang kami godok dengan umat Hindu di Asinan,” tuturnya.
Eko melanjutkan, sasaran Peace Camp adalah anak-anak muda dengan jumlah 30 – 40 orang. Dengan jumlah tersebut, ia melibatkan cukup banyak mitra baik dari akademisi, perguruan tinggi maupun BUMN.
“Ke depan juga akan diadakan peace camp berskala internasional di Srumbung Gunung,” tutup Eko.
Editor: Puthut Ami Luhur